Aturan yang Didengar, Bukan Ditakuti
Aturan yang Didengar, Bukan Ditakuti
Ada suara yang perlahan hilang dari ruang-ruang kelas kita: suara hati siswa. Ketika seorang murid dimarahi karena melanggar aturan, kita sering menilainya sebagai sikap tak taat atau pembangkangan. Padahal, bisa jadi itu adalah jeritan diam dari seseorang yang tak pernah diajak bicara saat aturan itu dibuat. Kita terlalu sibuk menyusun daftar larangan dan konsekuensi, namun lupa membuka ruang tanya, ruang dengar, dan ruang rasa.
Banyak guru yang masih menjadikan aturan sebagai alat kontrol sepihak. Seolah kedisiplinan hanya milik guru, dan ketaatan adalah tugas mutlak murid. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) sebagai pendidikan gaya bank, murid dianggap wadah kosong yang harus diisi, bukan mitra berpikir. Maka jangan heran, ketika mereka taat di depan guru, tapi memberontak di belakang punggung kita.
Disiplin yang dipaksakan tak membentuk karakter, ia hanya melahirkan kepatuhan palsu. Murid-murid kita tampak patuh di permukaan, tapi hatinya menyimpan amarah, bahkan dendam. Seperti gunung es, yang tampak tenang di atas, tapi menyimpan badai di bawah. Dan saat badai itu meledak, kita pun kaget dan menyalahkan mereka lagi, tanpa sadar bahwa kitalah yang menanam bibit kemarahan itu dari awal.
Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Peraturan bukan dibuat untuk menundukkan, tapi untuk menyadarkan. Bukan sekadar membuat tenang kelas, tapi menumbuhkan tanggung jawab personal. Inilah mengapa student agency dalam pendidikan modern menjadi penting, murid perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, termasuk perumusan aturan kelas.
Studi dari Harvard Graduate School of Education (2023) menunjukkan bahwa siswa yang diberi ruang untuk berpartisipasi dalam penentuan peraturan dan tujuan kelas menunjukkan peningkatan sebesar 31% dalam keterlibatan belajar dan 27% dalam regulasi diri. Keterlibatan aktif ini juga menurunkan resistensi terhadap disiplin sebanyak 40% dibanding model otoritatif yang konvensional.
Bayangkan jika peraturan dibuat bersama, bukan oleh guru saja. Guru menyusun kerangka nilai, lalu mengajak siswa merumuskan bentuk teknis dan konsekuensinya. Dalam proses ini, mereka tidak hanya belajar tentang aturan, tapi juga tanggung jawab, kompromi, berpikir kritis, dan rasa memiliki. Aturan yang lahir dari dialog akan lebih bermakna daripada aturan yang lahir dari monolog.
Di ruang kelas yang seperti ini, guru bukan penjaga hukum, tapi fasilitator karakter. Ia membimbing, bukan menghakimi. Ia mendengarkan, bukan mendikte. Inilah yang disebut John Dewey sebagai pendidikan demokratis, di mana sekolah menjadi laboratorium kehidupan sosial, tempat siswa belajar hidup bersama dengan penuh tanggung jawab (Dewey, Democracy and Education, 1916).
Kita harus sadar bahwa mendidik bukan hanya mengajar pengetahuan, tapi membentuk hati. Ketika seorang siswa merasa didengarkan, dia akan lebih terbuka menerima nasihat. Ketika dia dilibatkan dalam aturan, dia akan merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Dan ketika dia dihargai dalam diskusi, harga dirinya sebagai manusia pun tumbuh.
Peraturan yang baik bukanlah yang membuat siswa takut, tapi yang membuat mereka berpikir. Bukan yang menjauhkan, tapi yang mendekatkan. Bukan yang membuat guru menjadi penguasa, tapi yang menjadikan guru dan murid sebagai rekan dalam proses tumbuh. Dalam ruang seperti ini, pelanggaran bukan aib, tapi peluang untuk belajar. Konsekuensi bukan hukuman, tapi pengingat akan tanggung jawab yang dipilih sendiri.
Temuan dari UNESCO Global Education Monitoring Report 2024 menekankan bahwa pendidikan yang partisipatif secara signifikan menurunkan angka konflik kelas dan memperkuat student-teacher trust bond. Di Indonesia sendiri, Kemendikbudristek melalui Program Sekolah Penggerak telah mendorong pendekatan berbasis refleksi dan partisipasi aktif sebagai salah satu indikator sekolah yang berpihak pada murid.
Jika pendidikan adalah seni membentuk manusia, maka peraturan seharusnya menjadi kuas yang menggambar jiwa mereka, bukan palu yang memukul. Maka mari kita pilih, maukah kita membentuk mereka dengan rasa, atau hanya mengatur mereka dengan kuasa?
Referensi:
1. Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed.
2. Dewey, J. (1916). Democracy and Education.
3. Harvard Graduate School of Education. (2023). Student Voice & Engagement Report.
4. UNESCO. (2024). Global Education Monitoring Report: Reimagining Our Futures Together.
5. Kemendikbudristek RI. (2023). Panduan Sekolah Penggerak Edisi Terbaru.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.