Dalam sejarah dunia kedokteran, nama Al-Zahrawi mungkin tak sepopuler Hippocrates di telinga orang awam. Namun, dunia medis hari ini berdiri di atas jejak langkahnya. Ia adalah seorang ahli bedah dari Andalusia, yang dalam keheningan laboratoriumnya di Cordoba, menulis karya monumental "Al-Tasrif", ensiklopedia medis sepanjang 30 jilid, yang menjadi rujukan di Eropa selama lebih dari lima abad.
Al-Zahrawi bukan sekadar dokter. Ia adalah inovator, pengamat yang jeli, dan pembelajar setia dari tubuh manusia. Ia tidak hanya mengobati pasien, tetapi mencatat, mempelajari, dan memperbaiki teknik pengobatan. Ia menolak pengobatan berbasis takhayul, dan meletakkan dasar pada pengamatan klinis yang sistematis, sebuah langkah awal menuju metode ilmiah modern dalam kedokteran.
Salah satu warisan terbesarnya adalah lebih dari 200 instrumen bedah yang ia ciptakan dan gambar sendiri dalam karyanya. Pisau, gunting, tang, dan bahkan forceps melahirkan dunia baru dalam praktik bedah, bukan lagi sekadar keahlian naluriah, tetapi keterampilan yang bisa diajarkan, diwariskan, dan dikembangkan.
Al-Zahrawi adalah orang pertama yang menjelaskan tentang penggunaan benang catgut, yang bisa diserap tubuh, dalam menjahit luka dan operasi dalam. Sebuah penemuan yang menyelamatkan jutaan nyawa dalam prosedur medis modern dan masih digunakan hingga kini.
Dalam tulisannya, ia membahas ginekologi, kedokteran gigi, ortopedi, dan pediatri. Ia memperlakukan tubuh manusia sebagai amanah dari Tuhan yang perlu dijaga dengan ilmu, bukan dijadikan bahan percobaan serampangan. Prinsip etika medis Islam yang dibawanya jauh mendahului zaman.
Al-Zahrawi tidak berdiri sendiri dalam dunia yang sempurna. Ia hidup dalam konteks peradaban Islam di Andalusia, di mana ilmu, seni, dan iman tidak bertentangan. Dalam bayang-bayang masjid, sekolah, dan rumah sakit yang ia tinggali, ilmu tumbuh bukan hanya dari buku, tapi dari adab, niat, dan kasih sayang terhadap ciptaan Tuhan.
Tanpa Al-Zahrawi, dunia bedah mungkin akan tertinggal puluhan tahun. Tanpa instrumennya, tanpa dokumentasinya, tanpa prinsip-prinsip dasar yang ia susun, dunia medis akan berjalan lambat menuju profesionalisme. Ia mewariskan sistem, bukan sekadar teknik.
Sayangnya, seperti banyak ilmuwan Muslim lainnya, namanya perlahan memudar dalam buku-buku sejarah modern. Namun, karyanya tetap hidup, terjemahannya dalam bahasa Latin menginspirasi Eropa, dan melalui Eropa, menginspirasi dunia.
Refleksi besar dari sosok Al-Zahrawi adalah kerendahan hatinya dalam menggenggam ilmu. Ia tak pernah mencatatkan nama di setiap penemuannya, karena ia yakin, ilmu adalah milik Tuhan yang hanya dititipkan sebentar padanya.
Di masa kini, ketika kedokteran sering dikomersialisasi dan pasien dilihat sebagai angka, warisan Al-Zahrawi mengingatkan kita bahwa menyembuhkan adalah ibadah, dan ilmu medis adalah amanah ilahiah. Dunia modern berutang padanya, dan generasi Muslim hari ini memikul tugas untuk menghidupkan kembali semangat keilmuannya, yaitu berilmu karena cinta, dan menyembuhkan karena rahmat.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.