Kurikulum Merdeka bukan hanya sebuah reformasi kebijakan, tetapi sebuah panggilan untuk mengubah cara kita memahami dan mempraktikkan pendidikan. Di tengah dunia yang dinamis dan penuh ketidakpastian, kurikulum ini hadir sebagai upaya untuk memanusiakan proses belajar, memberi ruang fleksibel agar pembelajaran dapat lebih bermakna, adaptif, dan berpihak pada murid.
Implementasi Kurikulum Merdeka menuntut pergeseran cara pandang bahwa dari pembelajaran yang seragam dan linier menjadi pembelajaran yang diferensiatif dan kontekstual. Guru tidak lagi memulai dari silabus yang kaku, tetapi dari siapa muridnya, bagaimana mereka belajar, dan apa yang sedang terjadi di lingkungan mereka. Pembelajaran dimulai dari kehidupan, bukan dari buku paket.
Praktik Kurikulum Merdeka sangat menekankan pada fleksibilitas waktu, strategi, dan pendekatan. Guru diberi ruang untuk merancang alur pembelajaran sesuai dengan karakteristik kelasnya, tanpa harus terjebak dalam tekanan mengejar ketuntasan kurikulum. Justru di sinilah esensi kemerdekaan itu: mengajar dengan kesadaran, bukan dengan ketakutan.
Salah satu ciri utama implementasi Kurikulum Merdeka adalah diferensiasi pembelajaran. Guru ditantang untuk mengenali kebutuhan belajar tiap siswa, baik dari aspek kognitif, minat, gaya belajar, maupun kesiapan emosional. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi justru di sanalah letak keindahan profesi guru: menyentuh tiap anak dengan pendekatan yang unik.
Lingkungan belajar pun diubah menjadi ruang yang menyenangkan dan memberdayakan. Tidak ada lagi wajah-wajah murid yang pasif menunggu disuruh, tetapi wajah-wajah yang terlibat, bertanya, mencoba, dan berekspresi. Pembelajaran dirancang dengan aktivitas yang kolaboratif, kontekstual, dan menumbuhkan keterampilan hidup, bukan sekadar hafalan.
Dalam konteks ini, joyful learning dan personalized learning menjadi jantung dari pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Guru tidak lagi menjadi pusat panggung, tetapi menjadi fasilitator yang membuka ruang bagi siswa untuk mengambil peran aktif dalam belajar. Kelas bukan lagi “ruang ujian berjalan”, tetapi ruang eksplorasi yang aman dan penuh kepercayaan.
Kurikulum Merdeka juga menghidupkan kembali semangat kolaborasi antar siswa. Murid diajak bekerja sama dalam proyek, diskusi, atau simulasi kehidupan nyata, sehingga belajar tidak terasa seperti beban individual, tetapi menjadi proses sosial yang memperkaya. Di sinilah empati, kepedulian, dan kecakapan hidup ditanamkan tanpa harus diceramahkan.
Perubahan ini tentu tidak bebas dari tantangan. Banyak guru yang masih terbiasa bekerja dengan kerangka instruksi yang pasti. Maka, perlu ada pendampingan, komunitas belajar guru, serta keberanian untuk berefleksi dan mencoba. Kurikulum Merdeka bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang bersedia bertumbuh bersama siswa di ruang yang sama.
Keberhasilan Kurikulum Merdeka dalam praktik bukan hanya soal administrasi yang rapi atau kelengkapan dokumen, tetapi terlihat dari suasana kelas yang hidup, dari relasi yang hangat antara guru dan murid, dan dari munculnya keingintahuan alami dalam diri anak. Jika guru bisa berkata, “Saya bahagia melihat anak-anak saya bertumbuh dengan cara mereka sendiri,” maka itulah indikator terbaik keberhasilan.
Kurikulum Merdeka memberi ruang, tapi hanya akan bermakna jika ruang itu diisi dengan kesadaran, keberanian, dan cinta. Cinta pada murid, pada proses belajar, dan pada profesi sebagai pendidik. Ketika guru menyadari bahwa kemerdekaan mengajar adalah peluang untuk menghadirkan pendidikan yang membebaskan, maka perubahan itu benar-benar akan hidup, bukan hanya dalam dokumen kebijakan, tetapi dalam setiap kelas yang kita jalani hari ini.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd