Ia adalah awal dari segala yang agung dalam salat: qiyam. Berdiri tegak menghadap kiblat, bukan semata gerakan jasmani, tetapi sikap batin yang penuh khusyuk. “Berdiri betul” bukan sekadar lurusnya tulang punggung, tapi tegaknya hati di hadapan Rabb semesta alam. Di situ, manusia menjadi paling sadar: bahwa ia hamba, dan Allah adalah Tuhan.
Dalam tegak yang diam itu, ada gemetar yang tersembunyi. Seakan tubuh tahu, ia tengah berdiri di hadapan Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui segala rahasia. Lidah mulai melafazkan ayat suci, namun hati yang bersuara lebih dahulu, dengan takut, rindu, malu, dan harap yang bercampur jadi satu.
Berdiri betul adalah bentuk keberanian yang sunyi. Keberanian untuk tidak bersembunyi dari dosa. Ia adalah pengakuan tanpa suara: “Ya Allah, inilah aku, dengan semua luka dan salahku. Aku tetap datang kepada-Mu.” Dan Allah, dengan cinta yang tak pernah padam, mempersilakan kita berdiri di hadapan-Nya, tanpa diusir, tanpa dicela.
Saat tubuh tegak, jiwa pun dituntut untuk lurus. Tak boleh ada riya, tak boleh ada lalai. Pikiran yang melayang ditarik kembali dengan ayat yang dibaca. Setiap huruf adalah tali yang menahan kita agar tidak hanyut dalam dunia. Maka berdiri betul bukan hanya tugas tubuh, tapi latihan batin untuk fokus, jujur, dan patuh.
Dalam surah-surah yang dilantunkan, ada dialog rahasia antara hamba dan Tuhan nya. Walau Al-Fatihah diulang berkali-kali, ia tak pernah membosankan. Karena setiap kali dibaca dalam berdiri betul, maknanya berbeda: kadang menjadi pelipur lara, kadang menjadi cambuk kesadaran, kadang menjadi pelita yang menunjukkan arah pulang.
Tak semua orang bisa berdiri betul. Ada yang terbaring, ada yang duduk lemah. Maka jika tubuh masih mampu menegak, syukur itu harus lebih tinggi dari kepala. Karena berdiri di hadapan Allah adalah kehormatan, bukan beban. Ia adalah kesempatan yang mungkin suatu hari nanti tak lagi kita miliki.
Saat kita berdiri betul, kita menyambung garis antara langit dan bumi. Tubuh menjadi tiang doa, tegak menjulang dari bumi yang hina menuju langit yang suci. Setiap gerakannya adalah simbol bahwa manusia bisa tegak hanya karena ditopang oleh iman, bukan kekuatan semata.
Ada keheningan dalam qiyam yang tak ditemukan di tempat lain. Keheningan yang padat oleh makna, seperti pelukan yang tak butuh kata. Di situ, manusia berada di antara takut dan cinta, antara pengharapan dan penyesalan. Ia tak berkata banyak, tapi hatinya memohon untuk diampuni dan didekap selamanya.
“Berdiri betul” adalah pelajaran hidup. Ia mengajarkan bahwa dalam hidup pun, kita harus berdiri tegak: dalam kebenaran, dalam kesabaran, dalam kejujuran. Salat tak hanya membentuk ibadah, tapi juga watak. Barang siapa yang belajar berdiri di hadapan Tuhan, tak akan mudah tunduk pada hawa nafsu dan dunia.
Dan dari berdiri itulah salat dimulai. Seperti hidup yang dimulai dari keberanian untuk bangkit. Maka setiap kali kamu berdiri dalam salat, rasakan bahwa itu bukan hanya gerakan. Itu adalah pernyataan cinta. Bahwa meski lelah, meski hina, kamu tetap memilih berdiri di hadapan-Nya, karena tak ada tempat lain yang lebih menenangkan daripada tegak dalam qiyam, menghadap cinta yang abadi.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.