Ada kalanya hati terasa keras, seperti batu yang lama tak disentuh hujan. Kita berjalan dalam hidup seolah tahu segalanya, hingga lupa bahwa cahaya tidak pernah lahir dari kesombongan. Dalam keheningan malam, bisikan nurani seringkali datang sebagai nasihat yang lembut, namun sering pula kita tepis karena merasa tak perlu diingatkan. Padahal, nasihat bukanlah luka, melainkan lentera kecil yang datang dari cinta.
Hati yang lembut adalah tanah subur tempat kebijaksanaan tumbuh. Ia tidak menolak benih kebaikan, meski bentuknya adalah teguran. Orang yang ikhlas tahu, ketika seseorang datang mengingatkan, itu bukanlah tamparan harga diri, melainkan pelukan tak kasat mata dari Tuhan lewat lisan manusia. Maka siapa yang hatinya lembut, ia tidak mendongak angkuh, tapi menunduk penuh syukur.
Sungguh, tanda keikhlasan itu bukan pada kata-kata yang dihias manis, tetapi pada bagaimana seseorang menerima kritik. Bila hati mudah panas ketika dikoreksi, mungkinkah itu karena ego yang masih terlalu tinggi? Sebaliknya, yang ikhlas justru memandang cela itu sebagai peluang untuk mendewasa. Ia tidak menyimpan dendam, malah mengirimkan doa untuk orang yang menyadarkannya.
Tak mudah memang membuka hati. Ia seperti jendela yang selama ini tertutup rapat oleh kabut prasangka. Tapi begitu dibuka, angin kebaikan masuk dan menyapu debu kesombongan. Kita menjadi lebih ringan, lebih lapang, dan lebih jernih dalam memandang dunia, sebab tidak ada kebaikan yang bisa tumbuh dari hati yang keras membatu.
Terkadang, nasihat datang dari arah yang tak kita duga. Bisa dari sahabat, dari orang tua, bahkan dari orang asing yang tak pernah kita perhitungkan. Namun, bukan siapa yang menyampaikan yang penting, melainkan apa yang dibawa oleh pesan itu. Orang bijak tak sibuk mencari kesalahan si pemberi pesan, ia sibuk mencermin ke dalam dirinya: adakah kebenaran yang perlu ia akui?
Mengakui kesalahan bukan berarti kalah. Justru, itulah kemenangan tertinggi: menundukkan ego, merobohkan dinding tinggi yang kita bangun demi gengsi. Orang ikhlas tahu bahwa setiap langkah keliru adalah kesempatan untuk kembali. Ia tidak malu untuk mengatakan, “Aku salah,” sebab ia tahu, di balik pengakuan itu, tersembunyi kekuatan untuk menjadi lebih baik.
Orang yang menerima nasihat dengan lapang adalah jiwa yang telah selesai dengan dirinya. Ia tak terbakar oleh amarah, tak terganggu oleh pandangan orang. Ia tahu, tidak semua koreksi datang untuk menjatuhkan. Sebagian besar justru datang sebagai bentuk cinta-cinta yang tak ingin melihat kita jatuh dalam kesalahan yang sama.
Maka jangan genggam amarah saat dinasihati. Bukalah hati, dengarkan dengan rendah hati, dan tanyakan pada diri sendiri: apakah ini datang untuk menyakiti atau menyelamatkan? Karena sering kali, yang tampak menyakitkan di awal, adalah yang paling menyelamatkan di akhir. Seperti pahitnya obat yang menyembuhkan.
Doakanlah mereka yang telah mengingatkanmu. Sebab tidak semua orang punya keberanian untuk menunjukkan kesalahan orang lain dengan niat baik. Mereka yang menasihati bukan berarti merasa lebih baik, tapi karena mereka peduli. Menghargai mereka adalah bentuk syukur kita atas cinta yang tak semua orang bisa berikan dengan tulus.
Dan di situlah keindahan hati yang lembut: ia tidak menghakimi, tidak mencaci, tapi senantiasa mencari makna dari setiap teguran. Ia melihat kehidupan bukan sebagai panggung pamer kebaikan, melainkan ladang tumbuhnya jiwa. Dan setiap nasihat, sejatinya adalah air hujan yang menyuburkan iman, bagi hati yang tak menolak disentuh kasih sayang Tuhan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.