Di dalam ruang-ruang sunyi kehidupan, terkadang kita merasakan kekurangan, bukan sekadar kurang harta, tapi kurang waktu, kurang perhatian, kurang makna. Kekurangan itu mengendap pelan di hati, menyisakan resah yang tak selalu bisa dilukiskan dengan kata. Namun dalam Islam, tak pernah kekurangan itu tanpa sebab; ia adalah ujian, ia adalah sentuhan rahmat yang tersembunyi.
Scarcity, kekurangan, bukan hanya kondisi lahiriah. Ia menjelma menjadi kabut yang menyelubungi pikiran. Ia membuat manusia terperangkap dalam “terowongan sempit” pemikiran jangka pendek. Tak sempat merenung, apalagi bersyukur. Kita menjadi hamba waktu, hamba kebutuhan, bukan lagi hamba Rabbul 'Alamin.
Namun lihatlah bagaimana Allah menyapa: "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka." (QS. At-Talaq: 2-3). Ayat ini menampar logika scarcity yang mengurung jiwa. Bahwa rezeki tak semata soal logika, tapi soal keyakinan.
Ketika manusia hanya melihat apa yang tak ia miliki, ia lupa mensyukuri apa yang telah ada. Inilah jerat scarcity: ia mencuri kesadaran kita. Ia membuat kita merasa selalu kurang, bahkan ketika nikmat Allah mengalir tiada henti. Dalam hati yang gelisah, syukur pun jadi asing.
Psikologi kekurangan menciptakan siklus kelelahan. Karena merasa tak cukup, kita terus berlari, mengejar, hingga lupa untuk diam dan sujud. Padahal Allah tak memanggil kita untuk menjadi pemilik segalanya, tapi menjadi hamba yang sadar: bahwa cukup itu bukan soal jumlah, tapi soal jiwa.
Dalam Islam, qana’ah, rasa cukup, adalah kekayaan sejati. Rasulullah bersabda: "Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sejati adalah kaya hati." (HR. Bukhari dan Muslim). Di sini, kita belajar bahwa kelapangan bukan milik yang berlebih, tapi milik yang berserah.
Scarcity menanamkan rasa takut kehilangan. Islam mengajarkan tawakal, percaya bahwa apa pun yang pergi, bukan karena kita kurang layak, tapi karena Allah sedang membentuk takdir lebih indah. Maka jangan terlalu bersedih bila dunia tak memberi. Mungkin Allah ingin kita lebih dekat dengan-Nya.
Dalam kekurangan, ada panggilan untuk kembali. Ketika waktu sempit, kita belajar memilih yang paling bermakna. Ketika uang terbatas, kita belajar bahwa memberi bukan tentang berapa banyak, tapi dari hati yang ingin berbagi. Kekurangan pun jadi guru; ia mendewasakan cinta kita pada dunia.
Sungguh, dalam setiap rasa kurang, ada peluang untuk menemukan cukup. Ketika kita mengaitkan kebutuhan pada dunia, kita terikat. Tapi ketika kita menggantungkan pada Allah, kita dibebaskan. Allah-lah Yang Maha Cukup, dan hati yang kembali pada-Nya takkan pernah benar-benar merasa miskin.
Wahai jiwa yang merindu kelapangan, bersabarlah. Kekurangan bukan akhir dari cerita, tapi jembatan menuju cahaya. Seperti malam yang kelam sebelum fajar, scarcity hanyalah fase, bukan takdir kekal. Karena dalam Islam, selalu ada harapan. Selalu ada Rabb yang Maha Melimpah. Maka kembalilah pada-Nya, dan engkau akan merasa cukup, bahkan di saat kekurangan itu masih tinggal.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.