Sebelum semua dimulai, ada satu gerakan sakral yang membuka seluruh perjalanan: Takbiratul Ihram. Ia bukan sekadar ucapan “Allahu Akbar”, melainkan pernyataan seutuhnya bahwa dunia kini ditinggal di belakang. Saat kedua tangan terangkat, seolah segala beban kehidupan pun ikut terangkat, ambisi, kegelisahan, ego, dan luka, semuanya dilepaskan. Takbir ini adalah pintu gerbang, tempat hamba menyatakan: “Ya Allah, aku datang… hanya untuk-Mu.”
“Allahu Akbar”, Allah Maha Besar. Kata yang pendek, namun menumbangkan segala yang pernah terasa besar di hati: masalah yang menyesakkan, pencapaian yang membanggakan, dan keinginan yang sering membutakan. Dengan takbir ini, kita menempatkan kembali segalanya pada posisi semestinya. Dunia bukan lagi pusat. Kini, hanya Allah yang ada di hadapan.
Ketika tangan diangkat ke samping telinga, seolah kita mengangkat seluruh isi dunia dari bahu kita, dan meletakkannya di luar batas salat. Ini adalah momen ikrar: bahwa selama beberapa menit ke depan, tak ada yang lebih penting dari hadapan Allah. Takbiratul ihram adalah deklarasi kebebasan, membebaskan jiwa dari jerat dunia agar bisa merasakan ringan dan lapangnya hubungan dengan Yang Maha Kasih.
Gerakan ini seperti melewati ambang antara dua alam. Sebelum takbir, kita adalah makhluk dunia, sibuk, kacau, mungkin gundah. Setelah takbir, kita menjadi ruh yang menghadap Langit. Waktu pun seolah berhenti. Di dunia, kita berdiri di karpet atau lantai, tapi di alam batin, kita sedang berdiri di hadapan Tuhan semesta alam. Takbiratul ihram mengangkat kita dari dataran bumi menuju langit makna.
Takbir ini juga menjadi ikatan suci. Ia disebut ihram karena sama seperti ihram dalam haji, setelahnya, ada hal-hal duniawi yang tidak lagi kita lakukan. Kita tidak lagi berbicara tentang dunia, tidak menoleh pada manusia, tidak menyentuh urusan fana. Kita berada dalam keadaan khusus: muqaddas, sakral. Dunia berhenti di luar, dan yang ada hanya Allah dan hamba-Nya yang sedang menghadap dengan hati terbuka.
Takbiratul ihram bukan hanya permulaan, tapi juga penggugah jiwa. Ia mengingatkan kita: apakah selama ini benar-benar mengakui kebesaran Allah? Jika iya, mengapa sering lalai? Jika Allah Maha Besar, mengapa kita masih takut pada hal-hal kecil di dunia? Maka takbir ini adalah pengingat, pengakuan, sekaligus teguran. Dan dengan setiap salat, kita diberi kesempatan untuk memperbaiki pengakuan itu.
Dalam keheningan setelah takbir, ada keintiman yang tak bisa dijelaskan. Suara “Allahu Akbar” memecah dinding antara hamba dan Tuhan. Ia tidak hanya menandai awal salat, tapi juga awal ketersambungan batin. Saat itu, dunia boleh gaduh, tapi jiwa sudah tenggelam dalam samudra dzikir.
Jika salat adalah perjalanan kembali ke rumah jiwa, maka takbiratul ihram adalah langkah pertama keluar dari pintu dunia. Ia adalah keberanian untuk masuk ke dalam keheningan, untuk berbicara jujur kepada Tuhan, dan untuk mengakui bahwa kita telah lelah. Bahwa kita butuh pelukan yang tak terlihat, perlindungan yang tak tertandingi, dan ketenangan yang hanya datang dari hadapan-Nya.
Takbiratul ihram mengajari kita untuk menetapkan niat, mengikat fokus, dan menempatkan Allah di pusat segala perhatian. Karena salat bukan hanya tentang tubuh yang bergerak, tetapi tentang hati yang hadir. Dan takbir adalah pintu kehadiran itu. Sebab tak ada yang bisa mendekat kepada Allah jika tidak dimulai dengan menyatakan kebesaran-Nya.
Maka angkatlah tangan dengan kesadaran. Ucapkan takbir dengan hati yang penuh. Biarlah ia menjadi takbir yang benar-benar mengawali perjumpaan. Bukan sekadar kata, tapi gema jiwa yang menyerahkan segalanya. Dan semoga setiap kali kita bertakbir, kita selalu menemukan kembali rumah kita, rumah yang tak bertembok, tapi penuh cahaya: hadirat Tuhan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.