Di ruang kelas yang semestinya jadi taman ilmu, seorang guru berdiri di atas meja, bukan untuk menjulang hikmah, tapi menendang kepala, seolah murid adalah sasaran, bukan manusia. Angin siulan yang tak bersalah, dibalas dengan amarah yang membakar, dan kaki yang seharusnya melangkah menuju kearifan, malah memilih menghantam kepala seorang anak yang baru belajar membedakan benar dan salah.
Guru, Engkau bukan dewa di singgasana, engkau pembentuk jiwa, penjaga rasa, bukan hakim pemarah yang menjatuhkan hukuman sebelum mencari kebenaran. Apa yang kau ajarkan, ketika tanganmu menggetarkan meja? Apa yang mereka pelajari, ketika matamu penuh murka? Mungkin anak itu akan lupa soal siulan, tapi tak akan lupa rasa takut dalam dada, yang merampas haknya untuk merasa aman di sekolah.
Kami tak butuh guru yang menguasai panggung dengan amarah dan ancaman, kami rindu pendidik sejati, yang mendengarkan sebelum menilai, yang menegur tanpa melukai, yang mengajar bukan hanya dengan lisan, tapi dengan hati.
Mendidik dengan Hati adalah Jalan yang Seharusnya
Dengarkan Sebelum Menghakimi
Murid bukan sekadar objek didik, tapi jiwa yang sedang bertumbuh. Dengarkan mereka. Pahami konteks. Tidak setiap pelanggaran harus dibalas dengan kekerasan.
Bangun Kedisiplinan dengan Kasih
Tegas bukan berarti keras. Disiplin bisa dibangun lewat cinta yang konsisten, bukan ketakutan yang membungkam.
Tumbuhkan Rasa Aman
Kelas adalah ruang suci tumbuhnya keberanian, bukan tempat anak-anak merasa dihukum karena keberadaan mereka.
Jadilah Teladan, Bukan Penguasa
Guru adalah contoh. Jika ingin dihormati, mulailah dengan menghormati. Jika ingin didengar, belajarlah mendengar.
Karena dalam setiap hati anak, tersimpan taman yang siap mekar, asal disiram dengan sabar,bukan diinjak oleh marah.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.