Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu momen paling menguji emosi dalam sejarah Sirah Nabawiyah. Bayangkan: kaum Muslimin sudah niat umrah, sudah ihram, sudah siap masuk Mekkah, tapi malah dihadang dan disuruh mundur. Lalu dibuat perjanjian yang di mata banyak sahabat terasa sangat tidak adil. Tapi inilah pelajaran emas: kadang, kita harus tampak mengalah demi kemenangan yang lebih besar.
Ketika isi perjanjian dibacakan, banyak sahabat kecewa. Salah satu poinnya: kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dan menunda umrah sampai tahun depan. Juga, jika ada orang Quraisy lari ke Madinah, ia harus dikembalikan. Tapi jika orang Madinah lari ke Quraisy, tidak perlu dikembalikan. Sepintas, itu seperti kekalahan. Tapi Rasulullah ﷺ tetap menandatangani perjanjian itu.
Sikap Rasulullah luar biasa tenang. Beliau berpikir panjang, tidak reaktif. Beliau melihat potensi masa depan, bukan hanya gengsi sesaat. Ini adalah contoh kepemimpinan visioner, bahwa tidak semua kekalahan itu rugi, dan tidak semua kemenangan itu untung. Kadang, mengalah sekarang adalah cara untuk menang lebih besar nanti.
Sahabat Umar bin Khattab bahkan sempat mempertanyakan keputusan Rasulullah dengan nada emosional. Tapi Rasulullah yakin. Dan keyakinan itu terbukti. Hudaibiyah menjadi titik balik yang membuka jalan kemenangan Islam. Dalam waktu dua tahun, banyak sekali orang masuk Islam karena mereka akhirnya bisa melihat Islam secara damai, bukan melalui konflik.
Pelajaran pentingnya: anak muda hari ini sering ingin menang cepat. Ingin langsung viral, sukses, diakui. Tapi Rasulullah mengajarkan: kadang kamu harus menahan diri, bersabar, dan merancang langkah panjang. Mengalah bukan berarti kalah, selama kamu punya visi yang jelas ke mana arah perjuanganmu.
Mengalah juga bisa berarti memilih diam daripada debat yang sia-sia. Atau menunda keinginan demi memprioritaskan hal yang lebih penting. Atau merelakan sesuatu yang disayang agar tidak kehilangan misi besarnya. Di era kompetisi dan ego yang tinggi, kemampuan mengalah secara strategis adalah tanda kedewasaan.
Setelah Hudaibiyah, peluang dakwah terbuka luas. Tidak ada lagi perang yang membatasi interaksi. Orang-orang Quraisy mulai melihat akhlak Muslimin secara langsung. Dakwah yang tadinya terhambat oleh konflik, kini mengalir lewat keteladanan. Ini membuktikan: damai yang bijak bisa lebih efektif daripada menang yang memaksa.
Perjanjian ini juga menunjukkan kecerdasan Rasulullah dalam membaca situasi. Beliau tahu kapan waktunya bertarung, dan kapan waktunya menahan diri. Dalam hidup, tidak semua situasi butuh reaksi keras. Kadang, yang dibutuhkan adalah kepala dingin dan hati yang sabar.
Dua tahun setelah Hudaibiyah, kaum Quraisy sendiri yang melanggar perjanjian. Dan itu membuka jalan bagi Fathu Makkah, penaklukan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah. Jadi, siapa yang benar-benar menang? Ternyata, yang sabar dan cerdas, bukan yang emosional dan gegabah.
Jadi, kalau hari ini kamu merasa sedang “mengalah”, mungkin dalam pertemanan, pekerjaan, atau perjuangan idealismu, ingatlah Hudaibiyah. Mungkin itu bukan kekalahan, tapi langkah mundur yang strategis. Jangan terburu-buru marah atau menyerah. Bisa jadi, kemenangan besarmu justru sedang disiapkan oleh Allah lewat jalan yang tak kamu sangka.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.