Menjadi penyeru kebaikan tak selalu harus berdiri di mimbar, bersorban putih, dan bersuara lantang. Kebaikan tak mengenal batas pakaian, gelar, atau profesi. Ia adalah getaran hati yang lurus, yang mengalir dalam laku, dalam tutur, dalam karya yang jujur. Kadang, suara kebaikan justru lebih nyaring ketika disampaikan dalam diam, lewat keteladanan, lewat kesungguhan dalam hal-hal kecil yang kerap luput dari sorot mata.
Bukankah Nabi Nuh adalah seorang pembuat kapal? Di tengah ejekan dan cemooh, ia terus memahat papan demi papan dengan sabar. Ia menanam pesan ilahi di tiap pukulan palunya, dan menjadikan ketekunan sebagai dakwah yang abadi. Kapalnya bukan sekadar kayu yang terapung, tapi bahtera harapan yang menyelamatkan iman dalam gelombang zaman.
Nabi Daud, sang raja, bukan hanya dikenal karena keadilannya, tapi juga karena keahliannya dalam menempa besi. Tangan yang bisa menggenggam pedang itu, tak segan berlumur keringat membentuk logam menjadi alat yang berguna. Bukankah di sana ada pelajaran? Bahwa kerja keras dan keahlian adalah jalan mulia untuk mendekat pada Tuhan, asal niat dan tujuannya lurus dalam ridha-Nya.
Lihatlah Wali Songo. Mereka tidak berdiri di menara kekuasaan, menghardik umat dengan tangan besi. Mereka masuk ke hati masyarakat melalui budaya, kesenian, dan kelembutan. Sunan Giri menyisipkan ajaran tauhid dalam tembang-tembang yang dinyanyikan anak desa. Kata-katanya mengalun seperti angin, membawa cahaya kepada hati yang gelap tanpa membakar.
Sunan Bonang memetik gamelan, dan dari nada-nada itu lahirlah dakwah yang menggugah. Ia paham, bahwa manusia adalah makhluk rasa. Maka ia mengetuk rasa itu, menumbuhkan cinta sebelum menyeru. Betapa indah caranya merajut pesan Ilahi dalam harmoni, hingga iman pun tumbuh seperti bunga, diam-diam namun mekar.
Sunan Kalijaga, lewat wayangnya, memperkenalkan nilai luhur kepada rakyat yang tak paham bahasa kitab. Ia tak memaksakan, tapi mendekap dengan kelembutan. Ia ajarkan ketauhidan lewat tokoh-tokoh yang mereka kenal. Ia tahu, bahwa kebenaran tidak harus menghapus budaya, tapi bisa menyucikannya, menjadikannya jalan kembali kepada Sang Maha.
Dan Sunan Gunung Jati, yang menjadikan politik bukan sebagai alat kekuasaan, tapi jalan pengabdian. Ia paham bahwa perubahan besar butuh sistem yang kuat. Maka ia masuk ke dalamnya, bukan untuk menaklukkan, tapi untuk menata. Kekuasaan baginya bukan mahkota, tapi amanah; bukan singgasana, tapi tempat sujud yang tersembunyi.
Dari semua itu, kita belajar: bahwa menjadi penyeru kebaikan tidak terbatas pada satu bentuk. Engkau bisa menjadi pedagang yang jujur, dan itu dakwah. Menjadi guru yang tulus, dan itu dakwah. Menjadi seniman yang membawa pesan damai, dan itu pun dakwah. Bahkan seorang ibu yang membesarkan anak dengan cinta, setiap suapannya adalah pesan kasih yang suci.
Kebaikan adalah cahaya. Ia akan menemukan jalannya, meski dari celah-celah sempit kehidupan. Tugas kita hanyalah terus menyalakan pelita itu, di manapun kita berada. Jangan menunggu podium atau gelar. Cukup jadilah pelita kecil yang menyala dalam gelap. Sebab terkadang, seberkas cahaya cukup untuk menunjukkan jalan bagi jiwa yang tersesat.
Maka jangan remehkan profesimu. Jangan hina jalan hidupmu. Jika di dalamnya engkau tanam niat untuk menebar manfaat, maka itulah jalan suci menuju Tuhan. Karena Tuhan tidak melihat jabatan atau jubahmu, Dia menilik hatimu. Dan dari sanalah, dakwah yang paling murni akan mengalir, sunyi, namun sampai ke langit.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.