Dalam gelapnya abad ke-13, ketika Mongol mengguncang peradaban dan Baghdad dihancurkan, muncul satu nama yang menjadi lentera, yaitu Nasir al-Din al-Tusi. Ia bukan hanya ilmuwan, tapi juga penjaga peradaban. Di tengah reruntuhan, ia menyelamatkan ilmu agar tetap hidup, agar manusia tetap punya cahaya untuk melangkah.
Al-Tusi adalah tokoh multidisiplin, menguasai matematika, astronomi, logika, filsafat, teologi, dan etika. Karya-karyanya membentang luas, tapi tak pernah lepas dari satu semangat, yaitu membangun ilmu demi kemaslahatan umat manusia. Ia percaya bahwa pengetahuan adalah tangga yang mengangkat derajat manusia, bukan sekadar alat kekuasaan.
Salah satu mahakaryanya adalah Zij-i Ilkhani, tabel astronomi yang sangat akurat untuk masanya. Ia membangun observatorium Maragha, yang menjadi pusat riset paling maju di dunia Islam saat itu. Bahkan, beberapa abad kemudian, Copernicus dikatakan terinspirasi oleh model kosmos yang dikembangkan Al-Tusi.
Di bidang matematika, Al-Tusi merumuskan teori trigonometri sebagai ilmu tersendiri, bukan sekadar cabang dari astronomi. Ia menciptakan "Teorema Al-Tusi", yang menjadi dasar penting dalam analisis gerak planet. Penemuannya mendahului sains modern Eropa dalam banyak hal.
Di tengah kehancuran politik, Al-Tusi menunjukkan bahwa ilmu bisa menjadi benteng peradaban. Ia diterima oleh Hulagu Khan bukan hanya karena kepandaiannya, tetapi juga karena karakternya yang jujur, tenang, dan mampu menjadi penasihat yang adil. Ia membuktikan bahwa seorang cendekia bisa menjadi jembatan di tengah konflik.
Dalam filsafat dan etika, Al-Tusi menulis kitab "Akhlaq-i Nasiri", karya monumental tentang akhlak dan pendidikan jiwa. Ia menyampaikan bahwa akhlak bukan sekadar aturan lahir, tapi proses penyucian batin yang mendalam. Ilmu, menurutnya, tidak akan membawa kebaikan jika tidak disertai dengan kebajikan moral.
Ia juga aktif menulis dalam bidang teologi dan logika, mengintegrasikan warisan pemikiran Aristotelian dan Islam. Tapi ia tidak membebek. Ia menata ulang logika dalam kerangka tauhid, menjadikannya alat bantu untuk memperkuat argumen keimanan, bukan menentangnya.
Yang membuat Al-Tusi begitu agung bukan hanya karena luasnya pengetahuan, tapi karena ia tetap teguh menjaga ilmu di tengah badai sejarah. Ia tidak menyerah pada ketakutan, tidak hanyut dalam kekuasaan, tapi menjadikan setiap keadaan sebagai ladang dakwah melalui ilmu.
Ia adalah simbol bahwa ilmu bisa bertahan meskipun istana runtuh, dan bahwa seorang ilmuwan sejati adalah mereka yang tetap menulis ketika dunia diam, tetap berpikir ketika yang lain memilih marah. Ia mewakili wajah peradaban Islam yang sabar, dalam, dan berorientasi pada keberlangsungan masa depan.
Hari ini, nama Al-Tusi mungkin tak setenar tokoh Barat dalam buku-buku pelajaran, tapi jejaknya tetap terang dalam sejarah astronomi, matematika, dan pemikiran Islam. Ia mengajarkan pada kita bahwa menjaga ilmu adalah bentuk tertinggi dari jihad intelektual, jihad yang sunyi, namun sangat berarti.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.