Di penghujung setiap salat, terselip sebuah momen sunyi yang paling intim: tasyahud akhir. Di sanalah, lidah yang sebelumnya melafazkan doa dan permohonan, kini melembut dalam pengakuan, dalam salam kepada Rasul, dan dalam penyerahan total kepada Sang Pemilik Waktu. Ia bukan hanya penutup ibadah, melainkan jembatan menuju perenungan terdalam, tentang hidup, kematian, dan harapan untuk diterima.
Di penghujung setiap salat, terselip sebuah momen sunyi yang paling intim: tasyahud akhir. Di sanalah, lidah yang sebelumnya melafazkan doa dan permohonan, kini melembut dalam pengakuan, dalam salam kepada Rasul, dan dalam penyerahan total kepada Sang Pemilik Waktu. Ia bukan hanya penutup ibadah, melainkan jembatan menuju perenungan terdalam, tentang hidup, kematian, dan harapan untuk diterima.
Dalam tasyahud akhir, dunia serasa berhenti berputar. Riuh kehidupan meredup, menyisakan satu bisikan lirih antara hamba dan Tuhan. Tangan terlipat di pangkuan, tubuh diam dalam ketundukan sempurna, sementara hati mengalirkan rindu kepada Nabi yang pernah bersujud di bumi yang sama, meneteskan air mata demi umatnya.
Bacaan itu pendek, tapi maknanya luas tak bertepi. Setiap kata seolah mengetuk pintu langit. "Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu…" Bukan hanya salam, itu rindu yang tak terucapkan selama hidup. Rasulullah telah lama tiada, namun namanya tetap hidup, berkibar dalam setiap salat yang dipanjatkan oleh hati yang merindu damai.
At-tahiyyatu lillahi… Segala kehormatan hanyalah milik Allah. Di sini, manusia menyerah, tak lagi membanggakan amal, tak lagi merasa cukup. Hanya satu yang ada: pengakuan tulus bahwa segala kebaikan bersumber dari-Nya, dan bahwa diri ini hanyalah debu yang bermimpi tentang surga.
Tak ada momen lain yang menyentuh seperti ketika menyebut asyhadu an laa ilaaha illallah… dalam tasyahud. Ia bukan sekadar syahadat; ia adalah pengulangan janji, bahwa meski dunia menggoda, hati ini tetap memilih Allah. Bahwa cinta dunia tak akan mampu menggantikan keteguhan kalimat tauhid yang merasuk sampai ke tulang-belulang.
Lalu disebut pula, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh… Seolah kita bersaksi kembali di hadapan seluruh semesta, bahwa Muhammad bukan hanya nabi, tapi lentera yang menuntun langkah dalam pekat kehidupan. Dalam ucap itu, ada cinta, ada hormat, dan ada tekad untuk meneladani, meski tahu diri ini belum mampu sepenuhnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad… Dalam untaian shalawat itu, ada harapan yang diam-diam menggigil. Seakan kita berkata: “Ya Allah, pandanglah aku dengan kasih yang sama seperti Engkau memandang kekasih-Mu.” Kita tahu kita bukan siapa-siapa, tapi kita berharap bisa menumpang cinta yang besar itu, agar doa kita tak tertolak.
Tasyahud akhir mengajarkan kita tentang kefanaan. Ia mengingatkan bahwa hidup, seperti salat, akan berakhir. Akan ada salam yang terakhir, akan ada detik di mana napas kita pun berkata assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, lalu diam selamanya. Maka, setiap kali salat, seolah-olah kita sedang mempersiapkan diri untuk perpisahan yang hakiki.
Terkadang, dalam heningnya tasyahud, air mata jatuh tanpa aba-aba. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dekat. Seolah kita sedang duduk di hadapan Allah, membawa hati yang compang-camping, tapi berharap diterima dengan senyum yang Maha Pengasih. Kita hanyalah musafir yang lelah, dan tasyahud adalah tempat berteduh sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Dan ketika salam terucap, kita kembali ke dunia. Tapi hati telah berubah. Ada sejumput damai yang tertinggal, ada percikan harap yang menyala. Sebab kita tahu, dalam sujud dan tasyahud, kita tak pernah sendiri. Kita ditatap, didengar, dan dicintai oleh Zat yang tak pernah tidur. Maka, tak ada yang lebih indah selain mengakhiri setiap salat dengan sepenuh jiwa, dalam tasyahud akhir yang lirih, penuh cinta, dan sangat dekat dengan surga.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.