Kita dibesarkan dalam ruang kelas yang diam-diam mengajarkan satu hal yaitu cepatlah menjawab jika ingin dianggap cerdas. Seolah, nilai dan pengakuan hanya milik mereka yang tahu lebih cepat. Tapi tidak pernah ada pelajaran yang mengajarkan bagaimana jika aku belum tahu? Bagaimana jika yang kubutuhkan bukan jawaban, melainkan keberanian untuk bertanya?
Sejak kecil, kita diberi nilai karena menjawab, bukan karena penasaran. "Siapa yang bisa jawab?" lebih sering terdengar daripada, "Siapa yang punya pertanyaan?" Kita tumbuh dalam budaya yang mengagungkan kepastian, namun melupakan proses keraguan yang sehat. Dan akhirnya, kita pun belajar menyembunyikan rasa ingin tahu demi terlihat tahu.
Bertanya lalu dianggap kelemahan. Lambat laun, kita mulai percaya bahwa bertanya itu bodoh. Padahal, justru dari sanalah ilmu bermula. Ilmuwan besar, pemikir, dan pemimpin, semua diawali dengan satu frasa sederhana "Kenapa ya?" Tapi keberanian itu perlahan hilang, diganti ketakutan akan penilaian.
Riset OECD melalui PISA 2018 menunjukkan bahwa hanya sekitar 1 dari 10 siswa Indonesia merasa nyaman mengajukan pertanyaan di kelas. Ini bukan sekadar angka, ini adalah cermin. Cermin dari ruang-ruang belajar yang terlalu penuh jawaban, namun miskin kebebasan untuk bertanya.
Padahal, menurut Harvard Business Review (2019), organisasi dan individu yang mampu bertanya secara aktif cenderung lebih inovatif, adaptif, dan tahan menghadapi perubahan. Bahkan, Google dan IDEO menjadikan curiosity dan questioning skill sebagai indikator utama dalam proses rekrutmen mereka.
Bertanya adalah tanda bahwa pikiran kita masih hidup. Ia bukan hanya menguji logika, tapi juga menggugah makna. Ia tidak muncul tiba-tiba, tapi tumbuh dari keberanian untuk jujur bahwa aku tidak tahu, tapi aku ingin tahu. Dan itu bukan kelemahan, itu manusiawi.
Sayangnya, kita lebih takut terlihat bodoh daripada jujur pada kebingungan sendiri. Kita lebih nyaman bersembunyi dalam diam daripada bertanya dan terlihat “kurang”. Padahal, keheningan semacam itu seringkali membunuh potensi, perlahan tapi pasti.
Bertanya bukan hanya soal akademik. Ia bisa muncul dalam bentuk refleksi harian:
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi?"
"Gimana kalau aku coba cara lain?"
"Apa pelajaran yang bisa kupetik?"
"Apakah aku benar-benar butuh ini, atau cuma ikut-ikutan?"
Inilah bentuk kecerdasan yang sesungguhnya yaitu mempertanyakan, sebelum meyakini.
Yang membuat kita berhenti belajar bukanlah usia, bukan pula IQ, tapi rasa takut. Takut terlihat salah, takut dianggap bodoh dan takut melawan arus. Tapi jika keberanian bertanya bisa kita rawat kembali, maka ruang-ruang belajar akan lebih jujur, lebih hidup dan lebih tumbuh.
Dan mungkin, pembelajaran paling dalam justru lahir dari satu kalimat yang paling sederhana namun paling manusiawi yaitu “Aku belum paham, deh. Boleh aku tanya?”. Karena saat kita berhenti malu untuk bertanya, di situlah kita benar-benar mulai belajar.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.