Dalam langit sejarah yang dipenuhi bintang-bintang ilmuwan Muslim, nama Al-Fazari mungkin tidak sepopuler Al-Khwarizmi atau Ibn Sina. Namun, di balik keheningan namanya, ia adalah salah satu perintis ilmu falak dan astronomi Islam, seorang yang menyalakan lentera langit di masa awal peradaban Abbasiyah.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Al-Fazari, seorang ahli matematika, filsuf, dan astronom yang hidup pada abad ke-8 M. Ia berada dalam lingkaran kekhalifahan Abbasiyah dan bekerja di bawah Khalifah Al-Mansur. Dari istana ini, ia menyusun karya-karya yang mengangkat langit menjadi ladang tafakur dan eksplorasi ilmiah.
Al-Fazari dikenal sebagai salah satu penerjemah pertama karya astronomi India ke dalam bahasa Arab. Ia menerjemahkan Siddhanta, kitab astronomi India yang kompleks, dan dari sanalah muncul karya penting bernama Az-Zij al-Sindhind, yang menjadi pondasi ilmu astronomi dalam tradisi Islam.
Tak sekadar menerjemahkan, Al-Fazari juga mengembangkan instrumen pengamatan langit, termasuk menyempurnakan bentuk awal astrolab, alat multifungsi yang digunakan untuk navigasi, penentuan waktu salat, hingga penentuan arah kiblat. Dengan alat ini, langit bukan hanya diamati, tetapi juga dibaca dan dipahami.
Ia juga disebut sebagai orang pertama yang membuat astrolab di dunia Islam. Dalam sunyi ruang observatorium, ia menjahit antara angka, bintang, dan spiritualitas, menjadikan astronomi bukan sekadar hitung-hitungan langit, tetapi zikir terhadap keteraturan semesta.
Karyanya mengilhami generasi ilmuwan sesudahnya seperti Al-Battani, Al-Biruni, hingga astronom besar Eropa di masa Renaisans. Al-Fazari membukakan pintu yang dulu terkunci oleh mitos dan takhayul, menggantinya dengan logika, pengamatan, dan perhitungan.
Di balik keterampilannya menghitung gerak bintang, Al-Fazari adalah seorang reflektor zaman. Ia sadar bahwa menatap langit bukan hanya soal ilmu, tapi soal iman, bahwa segala keteraturan di atas sana adalah pertanda dari Sang Maha Mengatur. Baginya, falak bukan hanya ilmu tentang bintang, tapi juga tentang batas dan takdir manusia.
Sayangnya, banyak karya Al-Fazari yang hilang ditelan waktu. Namun jejaknya tetap hidup dalam setiap rumus dan instrumen yang diwariskan. Ia adalah salah satu yang mengukir langit dengan pena dan pikiran, memulai tradisi ilmiah yang menyatukan langit dan bumi.
Dalam dunia pendidikan Islam saat ini, nama Al-Fazari seolah menjadi cermin dari generasi awal Muslim yang memadukan rasa ingin tahu dengan kedalaman iman. Ia mengajarkan bahwa meneliti langit bukan bentuk penentangan pada Tuhan, melainkan bentuk tertinggi dari rasa syukur dan keingintahuan.
Di tengah hiruk pikuk zaman, Al-Fazari mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menatap bintang, dan bertanya "Sudahkah kita membaca ayat-ayat Tuhan di langit dan di bumi, sebagaimana para pendahulu kita dahulu?"
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.