Di zaman ini, panggung bukan lagi soal siapa yang membawa pesan, melainkan siapa yang paling ramai disorot dan paling gaduh dibicarakan. Nilai tak lagi diukur dari kedalaman makna, tapi dari seberapa cepat jempol menekan dan seberapa sering layar diusap. Pesan yang tenang, jernih, dan tulus kadang tak terdengar, tertutup oleh gemuruh sensasi yang membanjiri jagat maya.
Yang sunyi dan bermakna dipinggirkan, yang gaduh dan hampa malah dielu-elukan. Bukan karena dunia kehilangan hati, tapi karena mata terlalu sibuk mengejar kilau, bukan cahaya. Semua demi angka, demi sorak sorai yang semu, dan demi secuil pujian yang cepat berlalu.
Di layar kecil itu, kita berlomba, bukan lagi menyampaikan kebenaran, tapi mempertontonkan siapa yang paling bisa mencuri perhatian. Seolah harga diri bisa diringkas dalam jumlah suka dan pengikut, seolah keberhasilan hanyalah soal viral dan dikenal banyak orang. Padahal yang paling bernilai sering kali justru tak tampak, karena ia memilih diam daripada menjual nurani.
Wahai pencari cahaya dalam keriuhan dunia, jangan biarkan jiwamu layu demi mengejar algoritma. Ia bisa kau kejar, ia bisa kau pelajari, tapi nilai dirimu tak bisa digantikan oleh sekadar angka-angka. Biarkan hatimu tetap jernih, walau sekelilingmu keruh, dan tetaplah tegak berdiri, walau badai pujian palsu terus menguji.
Ada yang menari di atas kehampaan, ada pula yang memilih berjalan perlahan di jalan sunyi penuh makna. Yang pertama cepat terkenal, tapi cepat pula dilupakan. Yang kedua tak banyak disorot, tapi hidupnya mengakar dalam jiwa banyak manusia. Maka, tanyalah dirimu, ingin dikenang karena apa?
Tak semua yang viral itu patut ditiru. Kadang ia hanya kilatan sesaat, yang menguap begitu rasa bosan datang. Tapi yang lahir dari ketulusan, akan menetap dalam hati meski tak ramai diberi tepuk tangan. Sebab keaslian tak butuh panggung untuk bernyanyi.
Jangan gadaikan dirimu untuk panggilan singkat dunia maya. Jangan tukar nurani demi tawa yang dibuat-buat. Jangan redupkan cahaya hatimu hanya agar cocok dengan selera massa. Karena saat layar mati dan malam menyapa,
yang kau miliki hanyalah dirimu dan suara nurani yang tak bisa dibungkam.
Teruslah berkarya dengan hati. Meski tak banyak yang melihat, langit mencatat setiap kejujuranmu. Meski tak viral, ada satu hati yang mungkin sedang tertolong oleh kata-katamu. Dan satu jiwa yang pulang kepada harapan karena pesanmu yang diam-diam menyentuhnya.
Hiruk-pikuk konten takkan berhenti, tapi kamu bisa memilih untuk tetap waras di tengahnya. Waras bukan berarti diam, tapi tahu kapan bicara dan untuk siapa. Bukan semua komentar layak dijawab, bukan semua tantangan patut ditanggapi. Kedewasaan adalah memilah, bukan melawan segalanya.
Maka tenanglah, dan tetap berjalan di jalan yang jujur. Biarkan yang gaduh berlalu seperti angin sore yang usil. Sementara kamu, tetaplah menjadi mata air yang diam-diam menyejukkan. Karena pada akhirnya, yang menggetarkan jiwa bukan suara paling nyaring, tapi bisikan yang tulus dan penuh cinta.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd