Dalam hidup, ada saat-saat di mana hati merasa tinggi, seolah berada di puncak gunung yang menatap dunia dari ketinggian. Kata-kata terasa lebih berbobot, langkah lebih mantap, dan pandangan seolah melampaui batas manusia biasa. Namun, adakah yang lebih berbahaya daripada rasa tinggi yang tak disadari? Saat jiwa melayang tanpa pijakan, itulah tanda-tanda bahwa kita telah kehilangan arah yang seharusnya.
Dalam hidup, ada saat-saat di mana hati merasa tinggi, seolah berada di puncak gunung yang menatap dunia dari ketinggian. Kata-kata terasa lebih berbobot, langkah lebih mantap, dan pandangan seolah melampaui batas manusia biasa. Namun, adakah yang lebih berbahaya daripada rasa tinggi yang tak disadari? Saat jiwa melayang tanpa pijakan, itulah tanda-tanda bahwa kita telah kehilangan arah yang seharusnya.
Ketika engkau merasa berada di atas angin, jangan terburu-buru menepuk dada. Sebab angin itu tak pernah bisa dijinakkan. Ia bisa mengangkat, namun juga menjatuhkan. Periksalah batinmu. Tanyakan pada nuranimu, apakah ketinggian itu hasil dari upaya tulus, atau hanya bayang-bayang kesombongan yang mengelabui hati?
Seringkali, kita tak sadar bahwa kesuksesan bisa menjelma menjadi racun manis. Ia membius hati dengan tepuk tangan, pujian, dan kekaguman. Tapi hakikatnya, keberhasilan yang tak dibarengi kerendahan hati hanyalah tangga rapuh yang sewaktu-waktu bisa runtuh, meninggalkan jiwa yang terluka dan kehilangan jati diri.
Lalu, jika suatu hari engkau merasa wangi, seolah amal dan kebaikanmu mengharumkan dunia, berhentilah sejenak. Hirup dalam-dalam aroma itu, dan tanyakan pada hatimu: apakah ini benar wewangian keikhlasan, atau hanya asap dari amalmu yang terbakar riya?
Riya, si musuh tersembunyi, sering datang dengan wajah yang lembut. Ia menyusup dalam niat, membisikkan bahwa engkau melakukan semua ini demi kebaikan, padahal diam-diam, ia menanamkan keinginan untuk dilihat, diakui, dan dipuji. Dan saat itu terjadi, amal baikmu menjadi api yang menghanguskan keikhlasan.
Ikhlas adalah hal paling sunyi dalam amal. Ia tidak menuntut sorotan, tidak mencari tepuk tangan. Ia seperti akar pohon: tak terlihat, namun darinyalah kekuatan tumbuh. Bila akar itu busuk karena riya, pohon amalmu mungkin masih berdiri, tapi rapuh dan menanti tumbang.
Maka, renungkanlah selalu: untuk siapa engkau melangkah? Untuk siapa engkau berbicara? Untuk siapa engkau berbuat? Jika jawabannya bukan untuk Tuhan semata, maka bersihkanlah kembali jalanmu. Sebab perjalanan hidup ini bukan tentang terlihat hebat, tapi tentang menjadi hamba yang taat.
Ketinggian sejati bukan tentang siapa yang paling banyak dipuji, tapi siapa yang paling mampu merendah di hadapan Tuhannya. Keharuman sejati bukan tentang siapa yang paling harum namanya, tapi siapa yang mampu tetap hening meski kebaikannya menggema.
Wahai jiwa, jangan terlalu cepat merasa besar. Karena sesungguhnya yang besar itu hanya Dia yang menciptakanmu. Dan jangan merasa paling bersih, sebab tak seorang pun tahu amal siapa yang akan diterima dan mana yang tertolak, selain Dia yang Maha Menyaksikan.
Mari belajar untuk menunduk, bahkan ketika dunia mengangkat. Belajar diam, bahkan ketika pujian menggema. Belajar ikhlas, meski godaan riya datang bertubi. Sebab di akhir segalanya, yang dinilai bukan tampilanmu di mata manusia, tapi ketulusanmu di hadapan Tuhan yang Maha Membaca hati.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.