Pembelajaran mendalam bukan hanya tentang memahami secara intelektual, tetapi juga mengalami secara batiniah. Di sinilah mindful learning memainkan peran penting: menghadirkan kesadaran penuh dalam setiap tahap proses belajar. Siswa tidak hanya “mengikuti pelajaran”, tetapi benar-benar hadir dalam pengalaman belajarnya, penuh perhatian, keterlibatan, dan kehadiran diri yang utuh.
Dalam konteks deep learning, mindfulness memperkuat kemampuan siswa untuk mengenali proses berpikir mereka sendiri, memahami perasaan yang muncul saat belajar, serta menyadari keterhubungan antara apa yang dipelajari dengan diri dan lingkungan. Ini bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga menenangkan dan memanusiakan.
Bayangkan ruang kelas di mana siswa tidak dipaksa untuk cepat-cepat menyerap, tetapi justru diberi waktu untuk menyentuh makna. Di sinilah guru menjadi pembimbing kesadaran, bukan hanya penyampai informasi. Guru yang mindful akan menciptakan ritme belajar yang tidak terburu-buru, memberi jeda untuk bertanya, merenung, bahkan diam. Sebab dari keheningan, seringkali lahir pemahaman yang dalam.
Proses refleksi dalam pembelajaran mendalam sangat selaras dengan praktik mindfulness. Dalam setiap proyek, diskusi, atau eksperimen, siswa diajak berhenti sejenak dan bertanya "Apa yang aku pelajari dari pengalaman ini?", "Bagaimana perasaan dan pemikiranku selama proses berlangsung?", Ini bukan sekadar evaluasi, tapi sebuah latihan menyadari dan menerima pengalaman belajar secara utuh.
Mindfulness juga memperkuat metakognisi, kemampuan untuk menyadari bagaimana seseorang belajar. Ketika siswa bisa mengamati dirinya sendiri saat belajar, ia akan tahu kapan ia benar-benar memahami, kapan ia bingung, dan bagaimana ia bisa memperbaiki cara belajarnya. Dengan kata lain, mindfulness melatih murid menjadi pembelajar mandiri yang peka dan reflektif.
Dalam pembelajaran berbasis proyek (PjBL), pendekatan mindful dapat diterapkan dengan memberikan ritual kesadaran di setiap tahap, misalnya membuka kegiatan dengan guided breathing, memberi waktu hening setelah brainstorming, atau menutup sesi dengan menulis jurnal refleksi. Ini menciptakan pengalaman belajar yang utuh: kognitif, afektif, dan spiritual.
Guru yang menghayati mindful teaching akan melihat kelas bukan sebagai tempat transfer ilmu, tapi sebagai ruang kehadiran dan relasi yang bermakna. Ia hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batiniah: mendengar dengan empati, merespons tanpa menghakimi, dan peka terhadap dinamika batin murid. Ia menjadikan kehadirannya sebagai jangkar ketenangan di tengah tekanan kurikulum dan ekspektasi.
Dalam jangka panjang, penerapan mindful learning dalam deep learning akan membentuk murid-murid yang tidak hanya cerdas, tapi juga penuh welas asih, tidak mudah terombang-ambing oleh tekanan, serta mampu menavigasi dunia dengan kesadaran diri. Bukankah inilah bentuk pendidikan yang paling manusiawi, yang tidak hanya menyiapkan anak menghadapi ujian sekolah, tapi juga ujian kehidupan?
Kurikulum Merdeka memberi ruang sangat luas untuk praktik mindfulness dalam pembelajaran. Dengan keleluasaan waktu dan pendekatan tematik, guru memiliki peluang besar untuk membangun ritual-ritual kecil yang menumbuhkan kesadaran. Bahkan, satu menit hening sebelum memulai pelajaran bisa menjadi perubahan kecil berdampak besar.
Akhirnya, mindful deep learning adalah ajakan untuk menghidupkan kembali makna belajar, bukan sekadar mengejar hasil. Saat siswa dan guru hadir dengan sadar, maka ruang kelas bukan lagi sekadar tempat mencari nilai, tapi menjadi tempat menemukan diri, makna, dan harapan.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd