Di sebuah lorong panjang sejarah Islam, ada satu nama yang menjadi titik temu antara kecerdasan dan keikhlasan, antara filsafat dan tasawuf, antara ilmu dan hati. Namanya Abu Hamid Al-Ghazali. Dikenal sebagai Hujjatul Islam, argumen hidup bagi kebenaran Islam, Al-Ghazali adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam dan dunia.
Ia adalah seorang jenius sejak muda. Pada usia 30-an, ia sudah menjadi guru besar di madrasah Nizamiyyah Baghdad, salah satu lembaga pendidikan paling prestisius saat itu. Ia menguasai logika, filsafat, hukum Islam, teologi, dan tasawuf. Tapi, di puncak kejayaannya, ia mengalami kegelisahan batin yang mendalam. Ia merasa ilmu yang ia miliki telah mengisi kepalanya, tapi tidak menenangkan jiwanya.
Lalu ia mundur dari panggung dunia, melepaskan jabatan, harta, dan pujian. Ia mengembara dalam keheningan, menempuh jalan sunyi untuk mencari makna sejati. Dari perenungan itulah lahir karya agungnya, "Ihya’ Ulum al-Din" (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), sebuah buku yang bukan hanya menyentuh pemikiran, tetapi juga menyentuh nurani umat Islam sepanjang masa.
Al-Ghazali mengajarkan bahwa ilmu tanpa akhlak adalah racun, dan agama tanpa ilmu adalah kebutaan. Ia tidak menolak filsafat, tapi menempatkannya di bawah bimbingan wahyu. Ia tidak memusuhi logika, tapi menundukkannya pada cahaya iman. Ia tidak mengasingkan dunia, tapi mengarahkan dunia untuk tunduk kepada Tuhan.
Dalam bukunya, ia membedakan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang menipu. Ia menyeru umat Islam untuk tidak hanya mengejar pengetahuan demi status atau pengaruh, tetapi menjadikannya sebagai jalan menuju pengenalan dan cinta kepada Allah. Ia menghidupkan kembali ruh pendidikan Islam yang bersumber dari niat, kebersihan hati, dan keikhlasan amal.
Bayangkan, seorang pemikir besar, yang menguasai hampir semua disiplin ilmu pada masanya, justru memilih jalan zuhud, menulis dengan air mata, dan mengajarkan bahwa tujuan tertinggi ilmu adalah membentuk manusia yang takut kepada Tuhan, bukan hanya manusia yang pandai berhitung.
Pengaruhnya melampaui dunia Islam. Pemikirannya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan di universitas-universitas Eropa. Bahkan, banyak filsuf Barat yang terinspirasi oleh pendekatannya yang kritis dan mendalam terhadap logika dan metafisika. Tapi lebih dari itu, Al-Ghazali adalah pengingat bahwa kebangkitan ilmu sejati harus dimulai dari kebangkitan hati.
Tanpa Al-Ghazali, peradaban Islam mungkin akan terjebak dalam perseteruan antara akal dan iman. Ia menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya. Ia menunjukkan bahwa berpikir dan berdzikir bisa berjalan beriringan. Bahwa masjid dan madrasah tak harus terpisah dari logika dan filsafat.
Di zaman ini, ketika ilmu semakin terfragmentasi, dan spiritualitas terpinggirkan oleh hiruk pikuk teknologi, sosok Al-Ghazali hadir sebagai cermin. Ia mengingatkan kita bahwa peradaban tidak hanya dibangun oleh otak yang tajam, tetapi oleh hati yang bersih. Bahwa kehebatan bukan hanya tentang kecanggihan, tapi tentang kemurnian niat dan arah tujuan.
Maka jika hari ini kita mencari model seorang ilmuwan yang lengkap, yang berilmu, beriman, dan berjiwa, maka Al-Ghazali adalah jawabannya. Bukan karena ia tahu segalanya, tapi karena ia memilih untuk meletakkan ilmu di atas sajadah, dan membiarkan akal sujud bersama jiwa.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.