Salah satu ciri paling menonjol dari Kurikulum Merdeka adalah keberpihakannya yang nyata terhadap keberagaman murid. Ia tidak memaksakan satu jalan bagi semua, melainkan membuka banyak jalan agar setiap murid dapat sampai pada tujuan belajar dengan cara yang paling sesuai dengan dirinya. Di sinilah personalized learning hadir, bukan sebagai pendekatan teknis semata, tapi sebagai filosofi pendidikan yang menghargai martabat belajar tiap anak.
Personalized learning berarti bahwa setiap murid memiliki ritme, cara menyerap, dan minat yang berbeda. Guru tidak lagi sekadar bertanya “sudah sampai halaman berapa?”, tetapi “apa yang sedang kamu pahami dan rasakan hari ini?” Pembelajaran disusun tidak hanya berdasarkan konten, tetapi berdasarkan siapa yang belajar, bagaimana ia belajar, dan apa yang membuatnya terhubung dengan pembelajaran itu.
Dalam praktik Kurikulum Merdeka, personalized learning tercermin dari pembelajaran berdiferensiasi, asesmen diagnostik, dan pemetaan kebutuhan belajar di awal serta selama proses. Guru menjadi lebih reflektif dan adaptif, merancang strategi pembelajaran berdasarkan peta keberagaman yang hidup di kelasnya, bukan berdasarkan asumsi umum semata.
Penerapan personalized learning mengandaikan bahwa guru mengenal muridnya secara utuh, tidak hanya dari nilai, tetapi dari cara berpikir, minat, tantangan emosional, bahkan latar belakang sosial mereka. Inilah bentuk pendidikan yang humanis, ketika seorang guru sadar bahwa anak yang sama tidak selalu datang ke kelas dengan kondisi batin yang sama setiap harinya.
Dalam pendekatan ini, fleksibilitas menjadi kunci. Guru tidak terikat pada satu cara penyampaian atau satu bentuk tugas. Ia memberi pilihan, variasi, dan ruang eksplorasi. Beberapa siswa mungkin belajar lebih baik melalui diskusi, sebagian dengan gambar, sebagian lainnya dengan membuat proyek. Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan untuk mengatur strategi ini sepanjang tetap mengacu pada capaian pembelajaran yang jelas.
Personalized learning juga sangat terkait erat dengan motivasi internal murid. Ketika anak merasa bahwa proses belajar relevan dengan dirinya, bahwa suaranya didengar, dan bahwa pilihannya dihargai, maka keterlibatan pun menjadi lebih tulus. Belajar bukan lagi kewajiban luar, tetapi proses membangun makna dari dalam.
Namun, personalized learning bukan berarti guru harus menyediakan 30 cara berbeda untuk 30 siswa. Yang paling penting adalah sikap dan kesadaran untuk tidak menyamaratakan. Guru tetap dapat bekerja secara kolaboratif, tetapi dengan cara yang inklusif. Misalnya, memberi tugas proyek yang terbuka namun dengan jalan penyelesaian yang bisa dipilih sendiri oleh murid sesuai kekuatan dan minatnya.
Kurikulum Merdeka memperkuat ekosistem personalized learning melalui berbagai alat bantu: asesmen formatif, refleksi diri, portofolio, dan praktik diferensiasi konten, proses, maupun produk belajar. Semua itu bertujuan agar anak merasa menjadi subjek, bukan objek dari proses belajar. Murid bukan lagi sekadar penerima, tetapi perancang perjalanan belajarnya sendiri, dengan guru sebagai pendamping.
Tentu, tidak semua guru langsung merasa nyaman dengan pendekatan ini. Namun personalized learning tidak mengharuskan sempurna, melainkan mengundang keberanian untuk mencoba memahami murid lebih dalam. Kadang cukup dengan menanyakan, “Cara belajar seperti apa yang paling membuatmu semangat?” Itu saja bisa membuka pintu perubahan besar dalam relasi belajar-mengajar.
Pada akhirnya, personalized learning dalam Kurikulum Merdeka adalah tentang memanusiakan kembali proses belajar. Bahwa anak-anak tidak datang ke sekolah untuk menjadi sama, tapi untuk dikenali dalam keunikannya. Dan tugas guru bukan mencetak mereka agar seragam, melainkan menyediakan ruang agar setiap anak bisa tumbuh seturut fitrah dan potensinya masing-masing. Di sinilah pendidikan menemukan jiwanya yang paling luhur.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd