Di tengah masa keemasan Dinasti Abbasiyah, lahirlah seorang pemikir yang menjembatani dunia logika dan spiritualitas, yaitu Al-Kindi. Ia dikenal sebagai “Filsuf Arab pertama”, pionir yang membuka pintu dialog antara filsafat Yunani dan pemikiran Islam. Ia bukan hanya penerjemah gagasan, tapi juga penyaring hikmah, menyusun ulang filsafat agar tunduk kepada nilai-nilai ketauhidan.
Al-Kindi percaya bahwa akal adalah anugerah Allah untuk mengenal kebenaran, bukan untuk menentang wahyu. Dalam pandangannya, filsafat bukan ancaman bagi agama, melainkan jalan untuk memperdalam keyakinan, sebab siapa yang benar-benar berpikir, akan menemukan Allah di ujung perenungannya.
Ia tak hanya bergelut dalam filsafat. Al-Kindi adalah polimath sejati, menguasai matematika, astronomi, musik, optik, kimia, hingga kedokteran. Ia adalah contoh nyata bahwa dalam peradaban Islam, ilmu bukan dikotomis, tapi saling melengkapi. Akal dan hati berjalan berdampingan dalam cahaya iman.
Dalam ilmu musik, Al-Kindi menulis teori bahwa musik dapat mempengaruhi emosi dan kondisi fisik manusia, membuka jalan bagi pemikiran psikologi musik modern. Dalam kedokteran, ia menyusun risalah tentang pengaruh psikologis terhadap kesehatan tubuh. Ia memahami bahwa tubuh dan jiwa saling terkait, jauh sebelum dunia medis modern mengakuinya.
Ia juga menjadi penerjemah utama karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab, seperti karya Aristoteles dan Plotinus, namun tidak serta-merta menelan semua isinya. Ia mengkritisi, mengadaptasi, dan menyelaraskan dengan nilai-nilai Islam. Filsafatnya bukan produk tiruan, melainkan karya orisinal yang memadukan hikmah dari Timur dan Barat.
Dalam risalah-risalahnya, Al-Kindi sering menegaskan bahwa kebenaran berasal dari Allah, dan siapapun yang menyampaikan kebenaran, baik dari Yunani, India, atau Persia, mereka adalah bagian dari warisan ilmu yang harus diterima dengan syukur, bukan ditolak karena perbedaan budaya atau agama.
Al-Kindi dikenal sebagai ilmuwan yang bersahaja. Ia tidak mengejar popularitas, melainkan ketulusan dalam mengabdi kepada ilmu. Bahkan, ketika ia mulai dikucilkan oleh istana karena intrik politik, ia tetap menulis dalam diam, karena baginya ilmu adalah bentuk ibadah.
Ia juga termasuk ilmuwan pertama yang menggunakan metode eksperimental dalam meneliti fenomena alam, menggabungkan rasio dengan pengamatan. Dalam era penuh retorika, Al-Kindi mengingatkan pentingnya ilmu yang berdasarkan bukti, bukan sekadar logika kosong.
Meski namanya sering dilupakan dalam sejarah filsafat global, namun warisannya hidup di jantung peradaban Islam dan dunia ilmiah Eropa. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam Latin dan menjadi rujukan di universitas-universitas Eropa pada abad pertengahan.
Al-Kindi mewariskan kepada kita bukan hanya tumpukan buku, tetapi semangat mencari kebenaran tanpa takut bertanya, tanpa lelah berpikir, dan tanpa henti menyelaraskan ilmu dengan iman. Ia adalah mercusuar yang menunjukkan bahwa Islam dan filsafat bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua cahaya yang saling menguatkan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.