Sekolah Harus Mencetak Manusia Merdeka, Bukan Robot Penghafal Perintah
(Refleksi Pendidikan yang Menyentuh Akar dan Nurani)
Sekolah Harus Mencetak Manusia Merdeka, Bukan Robot Penghafal Perintah
(Refleksi Pendidikan yang Menyentuh Akar dan Nurani)
Sekolah seharusnya bukan palu yang memaksa, tapi lentera yang menuntun. Bukan pabrik nilai, tapi taman yang menyuburkan makna. Sayangnya, dalam sistem pendidikan kita hari ini, banyak ruang kelas berubah menjadi jalur produksi hafalan, di mana anak-anak disiapkan untuk ujian, bukan kehidupan. Seperti yang dikritik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, sistem pendidikan seringkali menjadi “banking education” di mana siswa dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh guru, bukan sebagai subjek aktif pembelajaran.
Di balik bangku-bangku yang rapi, berjejer rapi pula jiwa-jiwa yang tertekan. Ditekan oleh standar nasional, target nilai, dan kurikulum yang kerap kali mengabaikan keunikan tiap anak. Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan kita, sudah jauh-jauh hari menegaskan bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Namun kini, suara anak tak lagi dirayakan. Pertanyaan mereka dibungkam oleh jadwal padat dan buku teks yang tak memberi ruang untuk ragu. Sekolah menjadi tempat di mana hafalan lebih berharga dari pemahaman, dan diam lebih aman daripada berpikir. Padahal, menurut riset UNESCO, sistem pendidikan abad 21 harus menumbuhkan 4 pilar, yaitu learning to know, to do, to be, and to live together, belajar bukan hanya untuk tahu, tapi untuk menjadi manusia yang utuh.
Merdeka bukan berarti lepas kendali. Merdeka berarti sadar, bermakna, dan mampu membuat pilihan secara utuh. Merdeka belajar, seperti yang diusung Kemendikbudristek Indonesia, bukan sekadar jargon, tapi sebuah upaya untuk membebaskan siswa dari belenggu ketakutan akan salah.
Anak bukan lembar kosong, mereka adalah puisi yang sedang mencari makna. Kita sebagai pendidik bukan penyampai hafalan, tapi penjaga lentera yang menuntun arah. Mereka tak butuh lebih banyak instruksi, tapi lebih banyak ruang untuk merasa, bertanya, dan mencoba.
Sayangnya, survei World Economic Forum 2023 menunjukkan bahwa 60% siswa Indonesia merasa pembelajaran di sekolah tidak relevan dengan kehidupan nyata. Bukankah ini alarm bagi kita? Bukankah ini pertanda bahwa kita sedang mencetak generasi yang tahu banyak teori, tapi tak tahu apa yang mereka perjuangkan?
Mari bayangkan sekolah sebagai taman keberanian, tempat anak-anak belajar gagal, belajar bertanya, dan belajar berdiri sendiri. Di mana guru tidak sekadar mengajar, tapi juga tumbuh bersama muridnya. Di mana nilai bukan satu-satunya tolok ukur, melainkan proses dan integritas menjadi yang utama.
Sebab dunia tidak dibangun oleh penghafal yang takut salah, tapi oleh pemikir yang tak berhenti bertanya. Dunia ini tidak butuh anak-anak yang hanya mengikuti perintah, tapi yang sanggup mencipta arah dan mengubah keadaan. Itulah manusia yang merdeka. Itulah harapan sejati pendidikan.
Jika sekolah hanya mencetak robot, maka generasi kita akan kehilangan ruhnya. Tapi jika sekolah menyentuh hati dan menyirami pikiran, maka kita akan melahirkan generasi yang tak hanya pintar, tapi juga bijak, yang tak hanya hebat di atas kertas, tapi juga kuat dalam menghadapi hidup.
Referensi
1. Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed.
2. Ki Hadjar Dewantara. (1922). Pemikiran dan Prinsip Pendidikan Nasional.
3. UNESCO. (1996). Learning: The Treasure Within (Laporan Delors).
4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2020). Kebijakan Merdeka Belajar.
5. World Economic Forum. (2023). Global Education Quality Report.
6. Makarim, N. (2020). Pidato Hari Guru Nasional.
7. OECD. (2022). Future of Education and Skills 2030.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.