Bayangkan seorang ayah yang duduk di ruang tamu rumahnya. Anak-anaknya datang silih berganti, meminta sesuatu. Ada yang datang dengan wajah datar, mengucap pelan lalu berlalu. Tapi ada pula yang datang dengan mata berbinar, memeluk, mencium tangan, memohon dengan penuh harap. Hati siapa yang tak luluh oleh permohonan yang begitu hidup?
Begitulah kita di hadapan Tuhan. Kita semua membawa doa, membawa harap. Tapi sebagian dari kita menyampaikannya seperti formalitas seperti tugas yang harus selesai. Sementara sebagian lain menengadah dengan hati penuh, air mata jatuh satu-satu, menyerahkan raga dan jiwa dalam sujud yang tak tergesa.
Orang tua yang bijak tentu akan memberi kepada semua anaknya, tapi ia akan lebih cepat menanggapi anak yang menunjukkan rasa butuh, yang hadir dengan cinta dan kerinduan. Bukan karena ia pilih kasih, tapi karena cinta merespons cinta. Begitu pula Tuhan, Yang Maha Penyayang, Dia mencintai hamba yang datang dengan sepenuh hati.
Doa yang keluar dari bibir bisa saja biasa. Tapi doa yang keluar dari dada yang remuk, dari jiwa yang rindu, dari hati yang terhubung, itu bukan sekadar permintaan, itu adalah panggilan cinta. Dan cinta yang jujur, selalu menemukan jalan lebih cepat ke langit.
Bukankah kita pun lebih mudah tersentuh saat seseorang berbicara dari lubuk hati terdalam? Maka bagaimana mungkin Allah, Yang Maha Mengetahui isi hati, tak menaruh perhatian lebih pada hamba yang menyerahkan dirinya sepenuh jiwa?
Lihatlah Nabi Zakaria, yang berdoa dengan suara yang lembut, penuh harap dan takut. Lihat pula Maryam, yang diam dalam ibadah namun penuh iman. Mereka bukan hanya berdoa, tapi mereka hadir sepenuhnya dalam ibadahnya. Mereka bukan hanya meminta, tapi juga mencintai Sang Pemberi.
Kita sering merasa doa belum dikabulkan. Tapi pertanyaannya, sudah seberapa sungguh kita meminta? Apakah kita hadir dalam doa, atau hanya menitipkan kata-kata tanpa ruh? Allah tak pernah tuli, tapi barangkali kita yang belum benar-benar bersuara.
Jangan takut berdoa dengan tangis. Jangan malu meminta dengan suara yang patah. Sebab, Tuhan mencintai hamba yang kembali dengan wajah penuh harap, bukan yang pulang dengan tangan kosong karena gengsi menyapa langit.
Jadikan doa bukan hanya rutinitas, tapi ruang pertemuan. Pertemuan antara cinta kita yang penuh cacat, dengan kasih Tuhan yang tak pernah menolak. Datanglah sebagai anak yang rindu, bukan hanya tamu yang lewat.
Sebab, dalam kasih Tuhan, tidak ada yang sia-sia. Tapi bagi hamba yang datang dengan rindu yang membara, dengan ibadah yang bersahaja namun setia, maka yakinlah: langit akan lebih cepat terbuka, dan rahmat akan lebih cepat menyapa.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.