Ada satu masa di mana kata “Islam” disampaikan seperti perintah, bukan pelita. Diajarkan seperti beban, bukan pelukan. Anak-anak kecil, dengan mata bening dan hati polos, dicekoki konsep surga dan neraka tanpa sempat mengenal cinta. Lalu kita bertanya, mengapa mereka takut, menjauh, bahkan menolak? Barangkali karena yang mereka terima bukan cahaya, melainkan bayang-bayang yang menakutkan.
Mengajarkan Islam tak seharusnya seperti menancapkan paku dalam kayu. Ia bukan kekakuan, ia adalah taman yang luas dengan bunga yang beragam. Biarkan anak berjalan, mencium aroma kasih sayang dari setiap nilai yang Islam ajarkan, dari sabar, santun, hingga kasih yang menyejukkan. Karena cinta tak tumbuh dari ketakutan, tapi dari teladan yang hidup dalam keseharian.
Jangan buru-buru menggenggam tangan anak lalu menyeretnya ke arah kiblat. Duduklah dulu bersamanya, biarkan ia bertanya dengan polos, "Mengapa kita berdoa?" Jangan terburu menghakimi jika ia belum hapal surah, belum paham fiqh. Tanamkan dulu bahwa Tuhan mencintainya, tanpa syarat, tanpa syarat... seperti ibu mencintai bayinya bahkan sebelum ia bisa berbicara.
Islam bukan tentang “harus” yang menghimpit, tapi tentang “boleh” yang membebaskan hati dari resah. Tanpa harus melonggarkan prinsip, kita bisa tetap menanamkan iman tanpa kekerasan psikologis. Bukankah Rasulullah sendiri tak pernah memukul anak karena salah dalam ibadah? Lalu mengapa kita tergesa-gesa memarahi anak yang lalai sebelum sempat ia mengenal makna?
Mendidik anak tentang Islam tanpa doktrin bukan berarti melepaskan akidah. Justru itulah cara menanamnya lebih dalam, seperti akar pohon yang tidak terlihat tapi menghidupi seluruh batang. Kita beri air kasih, pupuk dialog, sinar kejujuran. Maka ia tumbuh sendiri, kuat tapi lentur, teguh tapi lembut, menjulang ke langit tapi tetap membumi.
Ceritakanlah kisah Nabi dengan mata yang berkaca, bukan dengan alis yang mengancam. Bicarakan tentang Bilal dan kesetiaannya, tentang Khadijah dan keagungannya, tentang Muhammad yang mencintai anak-anak lebih dari dirinya sendiri. Biarkan mereka jatuh cinta pada tokoh-tokoh ini, bukan karena harus, tapi karena mereka terpesona oleh kebaikan yang nyata.
Biarkan anak merasa bahwa Islam adalah rumah, bukan penjara. Bahwa ia boleh bertanya, boleh bingung, bahkan sesekali menolak, asal ia kembali. Karena yang kembali setelah tersesat akan lebih dalam mencintai jalan. Maka jadilah jalan itu terang, bukan lorong gelap yang menakutkan langkah kecilnya.
Ada masa di mana anak akan ragu, akan mencoba memahami dunia dengan logikanya yang sederhana. Jangan patahkan mereka dengan kata “haram” sebelum mereka tahu kenapa itu berbahaya. Gantilah larangan dengan pemahaman, gantilah ancaman dengan pelukan, dan gantilah “tak boleh” dengan “karena kita mencintai.”
Islam adalah samudra. Terlalu luas untuk dituangkan dalam satu gelas. Maka jangan paksakan anak meneguk semuanya sekaligus. Biarkan ia mencicipi seteguk demi seteguk, menikmati keindahan setiap nilai yang ia temukan sendiri. Karena iman yang tumbuh dari kesadaran lebih tahan terhadap badai daripada iman yang dipaksa tumbuh di bawah todongan.
Maka, mending anak tentang Islam tanpa doktrin bukan berarti menjauh dari Islam, tapi justru mendekatkan mereka pada jantungnya: kasih sayang, kebijaksanaan, dan keindahan. Jika kelak mereka berjalan di dunia yang penuh godaan, mereka tak akan mudah jatuh, karena dalam dada mereka telah tumbuh keyakinan, bukan karena takut, tapi karena cinta.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.