Dalam sejarah peradaban Islam, ada satu sosok yang dikenal bukan hanya karena kecerdasan ilmiahnya, tetapi juga karena keberaniannya dalam berpikir kritis dan empati kemanusiaan yang mendalam. Dialah Al-Razi atau Rhazes, sang tabib dari Rayy, Persia, yang hidup di abad ke-9 dan 10 M. Ia adalah seorang dokter, filsuf, kimiawan, dan penulis produktif yang mengguncang dunia medis dan intelektual pada zamannya.
Al-Razi tidak belajar ilmu hanya untuk mengejar gelar atau pujian. Ia menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, terutama dalam bidang pengobatan. Ia dikenal sebagai pendiri rumah sakit pertama yang berbasis rasionalitas ilmiah di Baghdad dan pencetus metode klinis yang revolusioner untuk saat itu.
Salah satu warisannya yang paling monumental adalah Kitab al-Hawi, sebuah ensiklopedia kedokteran yang mencakup catatan penyakit, diagnosa, dan pengobatan berdasarkan pengalaman klinisnya. Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan utama di Eropa selama ratusan tahun dengan judul Liber Continens.
Al-Razi adalah dokter yang lebih mengandalkan observasi daripada dogma. Ia percaya bahwa pengobatan harus berdasarkan pengalaman nyata, bukan hanya pada teori. Ia menentang praktik-praktik pengobatan kuno yang tak terbukti, dan tak segan menyanggah ide-ide Hippocrates dan Galen jika tak sejalan dengan hasil pengamatannya.
Ia juga dikenal sebagai penemu alkohol medis (etanol) dan asam sulfat, dua bahan penting dalam dunia farmasi dan kimia. Dari laboratoriumnya yang sederhana, Al-Razi memulai eksplorasi zat-zat kimia yang kelak menjadi fondasi bagi ilmu kimia modern, bahkan sebelum istilah “kimia” dimaknai seperti sekarang.
Dalam dunia pendidikan, Al-Razi menunjukkan pentingnya kemandirian berpikir. Ia menulis banyak risalah filsafat yang mengajak manusia berpikir secara rasional tentang kehidupan, Tuhan, dan keberadaan manusia. Ia tak takut berbeda pandangan, selama itu bersandar pada akal dan pengalaman nyata.
Ia juga sosok yang sangat peduli pada kaum miskin dan terlantar. Ia mendirikan rumah sakit dengan sistem sosial: mereka yang tidak mampu, tetap mendapatkan pengobatan secara gratis. Empatinya menyatu dengan keilmuannya, menjadikannya bukan sekadar ilmuwan, tapi juga pelayan kemanusiaan.
Al-Razi pernah menulis bahwa “ilmu yang tidak digunakan untuk memberi manfaat kepada manusia adalah ilmu yang belum selesai.” Kalimat ini bukan sekadar kutipan, tetapi napas yang menggerakkan hidupnya. Ia menolak menjadikan ilmu sebagai menara gading yang jauh dari realitas rakyat.
Dalam ranah filsafat, ia dikenal sebagai pemikir yang mengedepankan kebebasan berpikir dan pentingnya akal dalam memahami wahyu dan realitas. Ia menulis bahwa kebenaran bisa ditemukan di mana saja, selama kita mau jujur dalam mencarinya, bahkan jika itu membuat kita berbeda dari kebanyakan.
Al-Razi adalah tokoh yang mengajarkan bahwa menjadi ilmuwan sejati bukan hanya soal mengetahui, tapi juga soal menyentuh, merawat, dan menyelamatkan. Ia telah pergi berabad-abad lalu, tetapi pemikiran, dedikasi, dan cinta kasihnya pada ilmu dan manusia, masih hidup dalam nadi dunia kedokteran dan etika hingga hari ini.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.