Ketika Perpustakaan Ohara dalam dunia fiksi One Piece dibakar oleh Pemerintah Dunia, banyak yang melihatnya bukan sekadar bagian dari jalan cerita, melainkan sebagai simbol kuat atas penghancuran pengetahuan oleh kekuasaan yang takut pada kebenaran. Peristiwa fiktif ini bergema nyata dalam sejarah manusia, khususnya dalam peristiwa tragis kehancuran Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad pada tahun 1258 M. Keduanya menunjukkan bagaimana pusat-pusat ilmu pengetahuan bisa menjadi target ketika kekuasaan merasa terancam oleh potensi pencerahan yang dimiliki oleh rakyat.
Baitul Hikmah bukanlah sekadar gedung atau ruang penyimpanan buku. Ia adalah simbol dari era keemasan peradaban Islam, di mana ilmu pengetahuan, filsafat, dan teknologi berkembang pesat. Di sana, para ilmuwan dari berbagai latar belakang agama dan budaya bekerja sama menerjemahkan teks-teks Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab, lalu mengembangkannya menjadi dasar ilmu pengetahuan modern. Perpustakaan ini menjadi saksi bisu kemajuan sains dan pemikiran rasional yang melampaui zamannya.
Namun, saat pasukan Mongol menyerbu Baghdad, mereka tidak hanya menghancurkan kota secara fisik, tetapi juga memutus mata rantai keilmuan yang telah dibangun selama berabad-abad. Sungai Tigris yang konon menghitam karena tinta manuskrip-manuskrip yang dilemparkan ke dalamnya menjadi gambaran nyata tentang hilangnya ribuan karya berharga. Tragedi ini tak hanya memusnahkan dokumen, tapi juga meruntuhkan simbol semangat belajar dan inovasi yang dimiliki umat Islam kala itu.
Kejadian ini memiliki kemiripan moral yang mencolok dengan pembantaian Ohara. Dalam One Piece, para arkeolog di Ohara dibungkam karena mereka mencoba mengungkap sejarah dunia yang sebenarnya. Pemerintah Dunia takut bahwa pengetahuan yang mereka temukan dapat menggoyahkan kekuasaan yang telah mapan. Demikian pula dalam sejarah nyata, berbagai kekuasaan otoriter kerap memusuhi ilmu karena ilmu mengajarkan berpikir kritis, mempertanyakan narasi resmi, dan bisa menjadi alat pembebasan rakyat.
Ilmu pengetahuan, dalam banyak peradaban, selalu menjadi fondasi kemajuan. Ketika ilmu dihancurkan, masa depan suatu bangsa pun ikut terancam. Dalam Islam, penghargaan terhadap ilmu bahkan tercermin dalam wahyu pertama yang turun: Iqra’ (bacalah). Maka, penghancuran pusat-pusat ilmu seperti Baitul Hikmah tidak hanya merugikan umat Islam, tetapi juga umat manusia secara keseluruhan, karena hilangnya warisan pengetahuan yang bersifat universal.
Para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi (bapak aljabar), Ibnu Sina (pelopor kedokteran modern), dan Al-Farabi (filsuf besar) adalah contoh betapa Islam dahulu menjunjung tinggi ilmu dan logika. Mereka tidak hanya membaca dan menghafal, tetapi juga mengembangkan dan menyintesis ilmu dari berbagai peradaban. Kehadiran mereka dalam sejarah menunjukkan bahwa ketika ilmu diberikan tempat dalam masyarakat, peradaban akan tumbuh dalam damai dan kemakmuran.
Namun, ketika ilmu dan para pemikirnya dibungkam, peradaban justru terancam stagnan, bahkan runtuh. Peristiwa seperti pembakaran Ohara dan penghancuran Baitul Hikmah menjadi pengingat pahit akan bahaya ketika ilmu dianggap ancaman. Kehilangan akses terhadap arsip, literatur, dan catatan sejarah berarti kehilangan pijakan masa lalu dan arah untuk masa depan.
Oleh karena itu, tragedi-tragedi ini juga menyampaikan pesan moral penting tentang pentingnya menjaga dokumentasi dan literasi. Di era digital saat ini, tantangannya mungkin bukan lagi pembakaran fisik buku, tetapi disinformasi, penghapusan data, atau manipulasi fakta melalui media. Keduanya tetap merusak integritas pengetahuan dan kemampuan masyarakat untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang benar.
Dalam dunia yang semakin kompleks, literasi bukan hanya soal kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan memahami, menganalisis, dan mempertanyakan. Maka, menjaga ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir bukan lagi tugas para akademisi saja, tapi menjadi tanggung jawab kolektif semua lapisan masyarakat. Seperti para arkeolog Ohara dan ilmuwan Baitul Hikmah, kita perlu keberanian dan integritas dalam menjaga warisan keilmuan.
Akhirnya, baik Ohara maupun Baitul Hikmah menyimpan pesan yang relevan untuk generasi masa kini: bahwa kebenaran, ilmu, dan kebebasan berpikir harus selalu diperjuangkan, meski kadang harus berhadapan dengan kekuasaan yang menindas. Dari fiksi hingga sejarah nyata, kita belajar bahwa peradaban besar dibangun di atas pondasi ilmu — dan bisa hancur bila fondasi itu diruntuhkan. Maka, menjaga ilmu adalah menjaga masa depan umat manusia.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.