Di antara kemilau bintang filsafat Islam di tanah Andalusia, terdapat satu cahaya yang bersinar sunyi, namun dalam dan pekat, yaitu Ibn Bajjah, atau dikenal di Barat sebagai Avempace. Ia bukan hanya seorang filsuf, tapi juga ilmuwan, musisi, dan penyair. Namun yang paling membekas darinya adalah kesendiriannya yang bermakna.
Lahir di Zaragoza pada akhir abad ke-11, Ibn Bajjah hidup di masa transisi dan konflik politik antara umat Islam dan kekuatan Kristen di Spanyol. Dalam gejolak zaman yang tak menentu, ia memilih menemukan ketenangan dalam filsafat dan ilmu, membangun dunia batin yang tak bisa dihancurkan oleh pedang.
Karyanya yang paling terkenal, Tadbir al-Mutawahhid (The Regime of the Solitary), adalah meditasi mendalam tentang perjalanan jiwa manusia yang ingin mencapai kesempurnaan intelektual dan spiritual di tengah masyarakat yang penuh kebisingan dan kepalsuan. Ia berbicara kepada jiwa-jiwa yang memilih berpikir dalam diam.
Dalam pandangan Ibn Bajjah, manusia terbaik adalah mereka yang mampu hidup dengan akalnya, berfilsafat secara mandiri, dan mencapai pencerahan melalui kontemplasi, bukan sekadar mengikuti kerumunan. Ia meletakkan dasar penting bagi filsafat eksistensial yang jauh mendahului zamannya.
Tapi kesunyiannya bukan pelarian. Ia bukan anti-sosial, melainkan pro-integritas diri. Ia tahu bahwa menjadi berpikir di tengah masyarakat yang sibuk dengan permukaan adalah perjuangan yang tak mudah. Maka ia merumuskan model manusia yang sanggup hidup berdampingan dengan keramaian, namun tetap menjaga jernihnya pikiran.
Selain filsafat, Ibn Bajjah juga ahli dalam astronomi, matematika, musik, dan kedokteran. Ia adalah gambaran sejati dari ilmuwan Muslim multidisipliner yang tak membatasi dirinya dalam satu cabang ilmu. Dalam musik, ia dikenal sebagai pelopor teori nada-nada Andalusia. Dalam sains, ia menulis banyak komentar tentang logika dan fisika.
Ibn Bajjah adalah jembatan antara filsafat Yunani dan pemikiran Islam Barat. Ia mengembangkan pemikiran Aristoteles dan memengaruhi tokoh-tokoh besar setelahnya, seperti Ibn Thufail dan Ibn Rushd. Bahkan filsuf Yahudi seperti Maimonides dan filsuf Eropa seperti Albertus Magnus membaca jejaknya.
Namun hidupnya tidak mudah. Ia pernah dijebloskan ke penjara karena kritik sosialnya. Ia juga menjadi sasaran iri hati dan permusuhan dari kalangan istana. Ia wafat di Fez, Maroko, kemungkinan besar karena diracun. Kesendiriannya ternyata bukan hanya filosofis, tapi juga takdir hidupnya.
Dari Ibn Bajjah, kita belajar bahwa berpikir dalam keheningan bisa lebih revolusioner daripada berteriak dalam keramaian. Ia memberi pelajaran bahwa keteguhan terhadap prinsip dan pencarian intelektual yang tulus adalah jalan mulia, meski tak selalu populer.
Di era digital yang serba gaduh dan penuh distraksi, Ibn Bajjah hadir kembali sebagai suara lembut dari masa lalu, mengingatkan kita bahwa kesunyian bisa menjadi tempat tumbuhnya kejernihan, dan berpikir bisa menjadi bentuk tertinggi dari ibadah dan perlawanan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.