Jika dunia kedokteran hari ini berdiri megah dengan teknologi canggih, alat diagnosis modern, dan sistem medis terstruktur, maka salah satu batu pertama yang meletakkan pondasinya adalah seorang lelaki dari Bukhara, bernama Abu Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Sina, dikenal di Barat sebagai Avicenna.
Ibnu Sina bukan hanya dokter, tapi seorang jenius multidimensi. Sejak usia 16 tahun ia telah menguasai ilmu kedokteran. Ia belajar bukan sekadar dari buku, tapi dari denyut kehidupan. Ia mendalami bukan hanya tubuh manusia, tapi juga jiwanya. Karena baginya, ilmu kedokteran adalah seni menyentuh ciptaan Tuhan dengan kasih dan pengetahuan.
Karya monumentalnya, “Al-Qanun fi al-Tibb” (The Canon of Medicine), menjadi kitab utama di fakultas kedokteran Eropa selama lebih dari 600 tahun. Buku ini membahas anatomi, diagnosis, pengobatan, hingga filosofi kesehatan dengan sistematika yang melampaui zamannya. Ia tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga menyembuhkan ilmu itu sendiri dari kekacauan dan takhayul.
Dalam kitabnya, Ibnu Sina menulis: "Dokter yang sejati bukan hanya yang tahu penyakit, tetapi yang tahu apa itu manusia." Kalimat itu terasa sederhana, tapi mengandung filsafat yang dalam. Ia tahu bahwa menyembuhkan tubuh tanpa memahami jiwa hanyalah separuh dari tugas mulia seorang tabib.
Tapi jangan kira ia hanya ahli medis. Ibnu Sina juga menguasai matematika, fisika, musik, logika, filsafat, hingga ilmu kenegaraan. Ia adalah filsuf yang menulis tentang metafisika, keberadaan Tuhan, dan hubungan antara akal dan wahyu. Ia berdialog dengan Aristoteles dan Al-Farabi dalam pikirannya, lalu menyusunnya menjadi sintesis pemikiran yang brilian.
Ia hidup dalam zaman ketika dunia belum mengenal sistem rumah sakit seperti hari ini, namun ia telah menggagas pentingnya kebersihan, observasi gejala, dan etika pengobatan. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan harus dibangun di atas observasi, akal, dan akhlak. Ilmu bukan milik barat atau timur. Ilmu adalah cahaya, dan siapa pun yang mencarinya akan diberi terang.
Bayangkan, seorang Muslim dari abad ke-10, menulis risalah medis dan filsafat dalam bahasa Arab, tapi kemudian diterjemahkan ke Latin, diajarkan di Montpellier, Oxford, dan Padua, pusat universitas Eropa. Ilmunya menembus batas zaman, melintasi batas agama, dan berdiri sebagai jembatan antara Timur dan Barat.
Tanpa Ibnu Sina, dunia mungkin tidak akan mengenal standar diagnosis medis yang terstruktur. Tanpa dia, mungkin konsep rumah sakit, farmasi, dan kedokteran klinis tidak akan secepat itu berkembang. Ia bukan sekadar "bapak kedokteran", ia adalah penyair ilmu yang menyulam antara tubuh, akal, dan iman.
Kita hidup di zaman dengan teknologi pemindai canggih, operasi presisi, dan dokter spesialisasi. Tapi terkadang kita lupa, bahwa semua itu lahir dari fondasi pemikiran seorang Muslim yang menjadikan ilmu sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Yang belajar bukan untuk mengejar status, tapi untuk memberi manfaat kepada umat.
Ibnu Sina mengajarkan satu hal penting bahwa menjadi cerdas tidak cukup. Kita harus menjadi cerdas dan berjiwa besar. Karena peradaban tidak dibangun hanya dengan logika, tapi juga dengan nurani. Ia adalah simbol bahwa Islam bukan penghalang ilmu, tapi justru mata airnya.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.