Di tengah derasnya arus digital, kita seperti hanyut dalam gelombang yang tak bisa kita kendalikan. Setiap hari, jemari kita menari di atas layar, menyusuri lorong-lorong maya yang penuh dengan canda tawa semu, umpatan berbalut candaan, dan kepalsuan yang dibungkus rapi oleh algoritma. Kita tertawa, meski tak tahu apa yang sebenarnya sedang kita tertawakan.
Hari ini, layar kecil di tangan kita telah menjadi panggung terbesar dunia. Namun sayangnya, yang tampil bukanlah tokoh bijak yang menyemai nilai, melainkan mereka yang gemar bermain api sensasi demi satu hal: viral. Satu kata yang telah menggantikan nilai, akal, dan nurani. Satu tujuan yang kini menjadi kiblat baru banyak hati yang kehilangan arah.
Kata-kata bukan lagi untaian makna yang menyejukkan jiwa, melainkan senjata tumpul yang dipukul-pukulkan sembarangan demi tawa sesaat. Mereka menari di atas luka, menyisipkan kelakar pada hal-hal yang seharusnya disucikan oleh empati. Dan ironisnya, kita duduk di bangku penonton, memberikan tepuk tangan tanpa sadar kita sedang menertawakan kehampaan.
Di mana para pemilik kebaikan? Mengapa suara yang menenangkan kini teredam? Mungkin mereka terlalu menjaga diri, menepi dengan alasan tak ingin tercemar. Mereka lupa, bahwa diam yang terlalu lama bisa menjadi ruang kosong yang dengan cepat diisi oleh kebisingan. Dan disitulah para pencari sensasi membangun singgasananya.
Kita hidup dalam dunia yang memperdagangkan perhatian. Nilai tidak lagi ditentukan oleh kebijaksanaan, tapi oleh seberapa sering nama kita muncul di beranda orang lain. Tak peduli benar atau salah, yang penting ramai. Tak peduli mendidik atau menyesatkan, yang penting dibicarakan.
Namun, masih adakah tempat untuk konten yang menenangkan hati? Masihkah ada ruang bagi kata-kata yang menggugah kesadaran, bukan sekadar menggelitik tawa? Di balik semua riuh itu, ada rindu dalam jiwa manusia yang tak bisa dibohongi. Rindu akan keheningan yang berisi. Rindu akan makna yang sejati.
Sebetulnya, kita tak benar-benar menginginkan kebisingan ini. Kita hanya terbiasa. Terbiasa dijejali oleh yang riuh, hingga yang sunyi terasa asing. Kita kehilangan rasa karena terlalu sering dipaksa tertawa. Kita kehilangan pikir karena terlalu banyak ditonton, bukan diajak merenung.
Inilah waktunya para penjaga nilai kembali tampil. Bukan untuk melawan dengan suara keras, tapi dengan keteduhan. Bukan untuk menghujat yang buruk, tapi menyinari dengan yang baik. Sebab cahaya tidak memaki gelap; ia hanya hadir dan gelap pun pergi dengan sendirinya.
Mari kita bangun kembali panggung yang mendidik, dengan konten yang menyentuh hati. Mari kita suarakan lagi puisi, kisah, dan ilmu yang menyejukkan, bukan hanya demi viral, tapi demi warisan makna bagi generasi. Mari kita isi dunia maya dengan suara hati, bukan hanya suara ego.
Karena dunia ini terlalu berharga jika diserahkan pada mereka yang hanya mengejar sorotan. Dan hidup ini terlalu singkat untuk hanya jadi penonton di panggung yang salah. Saatnya kita hadir, bukan dengan bising, tapi dengan makna. Bukan dengan umpatan, tapi dengan kehadiran yang membangun peradaban.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.