Dia yang mengamalkan Al-Qur’an adalah penjelajah sunyi yang dipeluk cahaya langit, langkahnya tenang meski badai menerpa, hatinya teduh meski dunia bergemuruh. Setiap huruf yang dihidupkannya bukan sekadar bacaan, melainkan nafas kehidupan yang membasuh luka, menuntun arah, dan meneguhkan asa. Rezeki mengalir dari arah yang tak disangka, kemuliaan datang tanpa harus mengejar, karena ia tak sekadar hidup, ia dibimbing. Dalam dekap firman-Nya, ia menjelma menjadi pribadi yang tak hanya sukses di mata manusia, tapi juga harum di hadapan langit. Sungguh, siapa yang menggenggam Al-Qur’an, telah menggenggam kunci segala kebahagiaan.
Orang yang mengamalkan Al-Qur’an bagaikan menapaki jalan cahaya di tengah gelapnya dunia, setiap ayat yang dijalani menjadi pelita yang menuntun langkah menuju ketenangan, kemuliaan, dan keberhasilan sejati. Dalam gemuruh kehidupan yang penuh ketidakpastian, mereka yang hidup dengan nilai-nilai Al-Qur’an tidak pernah benar-benar tersesat; hati mereka kukuh, jiwa mereka lapang, dan keputusan mereka penuh hikmah. Kesuksesan bagi mereka bukan sekadar harta dan jabatan, melainkan hidup yang diridhai, dihormati, dan meninggalkan jejak kebaikan yang tak lekang oleh waktu. Betapa beruntungnya mereka yang menggenggam petunjuk Ilahi, sebab dunia tunduk di bawah langkah orang yang berjalan bersama firman-Nya.
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, tercatat nama-nama besar yang berhasil menorehkan prestasi luar biasa. Bukan karena kekayaan atau kekuatan politik semata, tetapi karena mereka hidup dalam naungan petunjuk ilahi yaitu Al-Qur’an. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tidak hanya membaca ayat-ayat suci, tetapi juga mengamalkannya sepenuh jiwa dan raga, menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas dalam setiap keputusan, sebagai cahaya dalam setiap langkah, dan sebagai kekuatan dalam menghadapi tantangan.
"Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan tidak (berbuat) kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa."
Dengan sikap rendah hati dan ketakwaan yang luar biasa, Umar bin Abdul Aziz membuktikan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan atau kemewahan, melainkan tentang pelayanan kepada rakyat dan tanggung jawab di hadapan Allah. Sejak awal menjabat sebagai khalifah, ia menolak berbagai fasilitas istana yang mewah dan memilih hidup sederhana seperti rakyat biasa. Ia menolak dikawal secara berlebihan, mengurangi pengeluaran negara untuk kepentingan pribadi, dan menyalakan lampu negara hanya untuk urusan pemerintahan, sementara untuk urusan keluarga, ia menggantinya dengan minyak dari hartanya sendiri. Sikap ini mencerminkan pemahamannya yang mendalam akan makna kepemimpinan sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Ketakwaan Umar bin Abdul Aziz juga tercermin dalam kebijakannya yang menempatkan nilai keadilan dan moralitas di atas kepentingan politik. Ia pernah menolak permintaan keluarganya dari Bani Umayyah yang ingin mendapatkan perlakuan istimewa dalam distribusi harta negara, dengan tegas mengatakan bahwa harta tersebut adalah milik umat, bukan keluarganya. Ia juga memerintahkan pencabutan kutukan terhadap Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jumat, sebuah praktik politik Dinasti Umayyah sebelumnya dan menggantinya dengan bacaan ayat Al-Qur'an yang menyerukan keadilan dan persatuan. Langkah ini menjadi simbol keberanian dan integritasnya dalam menghadapi tekanan internal demi tegaknya nilai-nilai Islam. Keteladanan inilah yang membuat Umar bin Abdul Aziz dikenang sebagai pemimpin yang tidak hanya ditakuti karena keadilannya, tetapi juga dicintai karena kesalehan dan ketulusannya dalam melayani umat.
Muhammad Al-Fatih: Bukti Hidup Janji Allah
Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel, yang dikenal sebagai Sultan Mehmed II dari Kekaisaran Utsmaniyah. Ia lahir pada tahun 1432 dan sejak usia dini telah mendapatkan pendidikan intensif yang mencakup hafalan Al-Qur’an, hadis, ilmu fikih, matematika, astronomi, serta strategi militer. Guru-gurunya adalah ulama dan ahli ilmu terkemuka, termasuk Syekh Aaq Syamsuddin yang tidak hanya mengajarinya ilmu agama, tetapi juga menanamkan semangat jihad dan keyakinan terhadap janji kemenangan Islam. Pendidikan ini membentuk karakter Muhammad Al-Fatih sebagai pemimpin visioner dan religius yang memandang kepemimpinan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, bukan semata ambisi politik atau kekuasaan duniawi.
Lebih dari sekadar penguasaan ilmu, Muhammad Al-Fatih menggenggam erat janji Allah dalam Surah An-Nur ayat 55, yang menyebutkan bahwa Allah akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang beriman dan beramal saleh. Ia percaya bahwa penaklukan Konstantinopel bukan sekadar pencapaian militer, melainkan realisasi nubuwat Rasulullah ﷺ yang bersabda, “Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad). Pada usia 21 tahun, tepat pada 29 Mei 1453, ia memimpin lebih dari 100.000 pasukan dan berhasil menaklukkan kota yang selama berabad-abad tak tersentuh oleh kekuatan Muslim. Penaklukan ini bukan hanya mengakhiri Kekaisaran Bizantium, tetapi juga menandai kebangkitan peradaban Islam di Eropa Timur, menunjukkan bagaimana kekuatan spiritual dan strategi ilmiah dapat berpadu dalam wujud kepemimpinan visioner yang berlandaskan Al-Qur’an. Ia menggenggam erat janji Allah dalam Q.S. An-Nur: 55:
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi..."
Surah An-Nur ayat 55 menjadi pendorong utama keyakinan Muhammad Al-Fatih dalam setiap langkah perjuangannya, ayat ini tertanam kuat dalam dirinya sejak kecil, membentuk cara pandangnya bahwa kemenangan sejati bukanlah hasil dari kekuatan militer semata, melainkan buah dari iman dan amal saleh. Keyakinan ini mendorongnya untuk terus belajar dan mempersiapkan diri secara matang. Ia menguasai tujuh bahasa termasuk Arab, Persia, Latin, dan Yunani, serta mendalami ilmu teknik dan arsitektur, yang kemudian terbukti sangat penting dalam membangun meriam raksasa yang mampu menghancurkan tembok legendaris Konstantinopel yang sebelumnya dianggap tak tertembus oleh pasukan manapun.
Keberhasilan Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453, di usia yang sangat muda, merupakan pencapaian yang mengubah arah sejarah dunia. Kota tersebut telah menjadi ibu kota Kekaisaran Bizantium selama lebih dari seribu tahun dan berfungsi sebagai benteng terakhir Kekristenan Ortodoks di Timur. Dengan strategi pengepungan yang brilian, termasuk pembangunan benteng Rumeli Hisarı untuk memblokade bantuan dari Selat Bosphorus dan penggunaan kapal-kapal yang diangkut melintasi daratan untuk mengejutkan musuh, ia membuktikan bahwa iman dan kecerdasan dapat menghasilkan perubahan besar. Muhammad Al-Fatih menjadi simbol bahwa keimanan kepada Allah dan berpegang teguh pada Al-Qur’an bukanlah penghambat kemajuan, melainkan kekuatan yang mampu melahirkan peradaban unggul dan pemimpin visioner yang disegani dunia.
Dalam konteks Indonesia, kita memiliki tokoh luar biasa bernama Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta pada tahun 1868. Suatu ketika, ia membaca Surah Al-Ma’un, surah pendek yang menegur orang-orang yang lalai terhadap anak yatim dan enggan memberi makan orang miskin, meskipun mereka rajin beribadah. Ayat-ayat ini menggugah kesadaran sosial Ahmad Dahlan secara mendalam. Ia menyadari bahwa ibadah yang sejati bukan hanya bersifat ritual, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata untuk menolong sesama. Karena itu, ia mengajarkan Surah Al-Ma’un kepada murid-muridnya secara berulang-ulang, bukan sekadar untuk dihafal, tetapi untuk diamalkan dalam bentuk aksi sosial. Inilah titik balik yang mendorongnya mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, sebagai wujud nyata dari ajaran Al-Qur’an.
Gerakan yang dimulai Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah pada tahun 1912 bukan sekadar gerakan dakwah, tetapi transformasi sosial yang menjangkau akar permasalahan masyarakat. Salah satu aksi awalnya adalah mendirikan sekolah Hooge School Muhammadiyah yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan modern, sesuatu yang jarang dilakukan lembaga Islam pada masa itu. Ia juga aktif dalam kegiatan filantropi, mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), cikal bakal RS PKU Muhammadiyah. Suatu ketika, ia membaca Q.S. Al-Ma’un:
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin..."
Surah Al-Ma’un dibaca oleh Ahmad Dahlan bukan hanya sebagai teks suci, tetapi sebagai pesan ilahi yang mengguncang jiwanya dan mengubah arah hidupnya. Q.S. Al-Ma’un membuatnya merenung dalam-dalam tentang kondisi umat Islam saat itu. Ia menyadari adanya ironi besar: banyak orang Islam yang tekun menjalankan ibadah ritual seperti salat dan puasa, namun bersikap acuh terhadap penderitaan sosial di sekeliling mereka. Bagi Ahmad Dahlan, ini adalah bentuk pemahaman agama yang parsial dan terlepas dari semangat keadilan sosial yang diajarkan Al-Qur’an. Maka dari itu, ia bertekad untuk membangkitkan kesadaran umat melalui gerakan yang tidak hanya berbicara tentang iman, tetapi juga aksi nyata.
Dengan semangat tajdid (pembaharuan), Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai respons langsung terhadap kondisi sosial dan keagamaan umat. Gerakan ini tidak hanya fokus pada pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang tidak berdasar, tetapi juga berupaya memperbaiki kehidupan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Sekolah-sekolah yang ia dirikan tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga ilmu pengetahuan modern, sebagai bentuk ikhtiar membebaskan umat dari kebodohan dan keterbelakangan. Implementasi dari pesan Surah Al-Ma’un hingga kini masih kita lihat, warisan tajdid Ahmad Dahlan tetap hidup, menjadikan Muhammadiyah sebagai salah satu pilar penting pembangunan sosial dan keagamaan di Indonesia..
Hasilnya? Hingga hari ini, Muhammadiyah telah membangun dan menunjukkan komitmen luar biasa dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial di Indonesia. Berikut adalah data terkini mengenai kontribusi Muhammadiyah: Pendidikan, Muhammadiyah memiliki 173 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk satu perguruan tinggi di Kerajaan Perlis, Malaysia. Terdapat 5.346 sekolah Muhammadiyah dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA/SMK, dengan rincian SD/MI 2.453 sekolah, SMP/MTs 1.599 sekolah, SMA/MA/SMK 1.294 sekolah. Lebih dari 23.000 TK Bustanul Athfal dan PAUD telah didirikan oleh Muhammadiyah. Kesehatan, Muhammadiyah mengelola 119 rumah sakit yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Klinik, Jika digabungkan dengan klinik, jumlahnya lebih dari 500 fasilitas kesehatan. Pelayanan Sosial, Terdapat lebih dari 1.012 Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) atau panti asuhan yang telah didirikan dan diurusi oleh Muhammadiyah.
Data di atas menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui berbagai bidang. Semua itu tumbuh dari satu ayat yang benar-benar diamalkan, bukan sekadar dihafal.
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman..."
Semangat ayat tersebut tercermin dalam seruan Iqbal agar umat Islam membangun kembali "khudi" (jati diri atau harga diri) mereka yang telah luntur akibat kolonialisme dan ketertinggalan. Baginya, Islam bukan sekadar identitas spiritual, tetapi kekuatan peradaban yang harus dibangkitkan dengan ilmu, etos kerja, dan visi kebangsaan. Pada tahun 1930, dalam pidato terkenalnya di Lahore, Iqbal pertama kali mengemukakan gagasan tentang perlunya negara tersendiri bagi umat Islam di India, yang kelak menjadi dasar berdirinya Pakistan pada tahun 1947. Meskipun ia wafat pada 1938 dan tidak sempat menyaksikan lahirnya negara tersebut, Iqbal diakui sebagai perintis dan pemikir utama di balik gagasan Pakistan. Warisannya tidak hanya hidup dalam bentuk negara, tetapi juga dalam semangat intelektual dan spiritual umat Islam yang terinspirasi oleh keyakinannya terhadap kebangkitan Islam melalui Al-Qur’an dan perjuangan pemikiran.
Iqbal menanamkan keberanian dalam hati umat bahwa jatuh adalah hal biasa, dan yang luar biasa adalah kemampuan untuk bangkit kembali. Ia memprovokasi umat Islam untuk meninggalkan pesimisme dan kembali kepada kejayaan melalui ilmu, iman, dan kesadaran akan harga dirinya sebagai umat terbaik.
Empat tokoh besar Umar bin Abdul Aziz, Muhammad Al-Fatih, Ahmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal meski berasal dari zaman dan wilayah yang berbeda, memiliki satu kunci kesamaan yang fundamental: mereka hidup dalam naungan Al-Qur’an. Mereka tidak hanya membacanya, tetapi menghayati dan mengamalkannya dalam setiap aspek kehidupan, menjadikan wahyu ilahi sebagai kompas moral dan strategi tindakan. Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan keadilan dan kesederhanaan hingga tak ada lagi rakyat yang layak menerima zakat; Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel berbekal keyakinan pada janji Allah dalam Q.S. An-Nur: 55; Ahmad Dahlan membangun jaringan pendidikan dan sosial berdasarkan pemahamannya atas Surah Al-Ma’un; dan Muhammad Iqbal menggugah kesadaran umat lewat puisi dan filsafat yang berakar pada Al-Qur’an, melahirkan gagasan berdirinya Pakistan. Mereka membuktikan bahwa sukses sejati, baik dalam kepemimpinan, perjuangan, maupun pembangunan umat, tak bisa dipisahkan dari petunjuk Allah. Siapa pun yang menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya hidupnya, akan dibimbing, ditinggikan derajatnya, dan dilimpahi keberkahan dalam segala upayanya.
Kini giliran kita untuk menjawab tantangan zaman: apakah Al-Qur’an akan kita biarkan menjadi sekadar hiasan di rak-rak rumah dan bacaan musiman di bulan Ramadhan, ataukah kita siap menjadikannya sahabat sejati dalam setiap langkah kehidupan? Al-Qur’an bukan hanya kitab suci yang dibaca dengan suara merdu, melainkan pedoman hidup yang mengarahkan hati, pikiran, dan tindakan. Para tokoh agung seperti Umar bin Abdul Aziz, Muhammad Al-Fatih, Ahmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal telah membuktikan bahwa menjadikan Al-Qur’an sebagai fondasi hidup bukan hanya membentuk pribadi yang kuat secara spiritual, tetapi juga mampu membawa perubahan besar bagi masyarakat dan peradaban. Maka, pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah kita membaca Al-Qur’an, tetapi apakah kita benar-benar hidup bersamanya menjadikannya penuntun dalam setiap keputusan, penguat dalam menghadapi ujian, dan sumber inspirasi dalam berkontribusi untuk umat dan bangsa.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.