Inilah puncak dari salat. Titik terendah tubuh, namun titik tertinggi jiwa. Sujud, saat dahi bersentuhan dengan bumi, saat seluruh keberadaan menyerah tanpa syarat kepada Sang Pencipta. Bukan sekadar gerak menunduk, tapi laku spiritual yang membuat manusia menemukan makna terdalam dari kepasrahan: bahwa sebenar-benarnya kemuliaan adalah ketika seseorang rela merendah total di hadapan-Nya.
Inilah puncak dari salat. Titik terendah tubuh, namun titik tertinggi jiwa. Sujud, saat dahi bersentuhan dengan bumi, saat seluruh keberadaan menyerah tanpa syarat kepada Sang Pencipta. Bukan sekadar gerak menunduk, tapi laku spiritual yang membuat manusia menemukan makna terdalam dari kepasrahan: bahwa sebenar-benarnya kemuliaan adalah ketika seseorang rela merendah total di hadapan-Nya.
Di dalam sujud, tak ada yang tersisa dari keangkuhan. Dada yang biasanya dibusungkan kini melekat pada bumi. Wajah yang selama ini dijaga, disanjung, bahkan dipuja, kini menyentuh tanah dengan rela. Di situlah manusia benar-benar menjadi hamba, tanpa gelar, tanpa nama, tanpa citra, hanya jiwa yang sedang pulang kepada Tuhan-nya.
“Subhaana Rabbiyal a’laa…” ucap yang lirih namun membahana dalam batin. Maha Suci Engkau, Tuhan yang Maha Tinggi. Kalimat itu diucapkan dari tempat paling rendah, dan justru karena itulah ia begitu bermakna. Sebab hanya dari bawah, seseorang bisa benar-benar merasakan keagungan yang di atas. Sujud mengajarkan bahwa kesucian hanya dapat dikenali oleh hati yang merendah.
Dalam gelapnya sujud, ada cahaya. Di sana, dunia menjadi bisu. Tak ada beban pekerjaan, tak ada luka masa lalu, tak ada bayangan masa depan. Yang ada hanya kehadiran Ilahi yang melingkupi dengan kehangatan tak terlukiskan. Tak ada tempat lain di dunia yang lebih damai daripada sujud. Ia bukan tempat pelarian, tapi tempat kembali.
Sujud adalah tempat doa paling tulus. Di sana, kata-kata keluar bukan dari mulut, melainkan dari tangis dalam dada. Seringkali, doa-doa terbaik bukan yang panjang dan puitis, tapi yang hanya berupa satu kata: “Tolong.” Atau bahkan hanya diam yang penuh air mata. Dan Allah, Dia Maha Tahu. Bahkan sebelum lidah bergerak, Dia telah mendengar segalanya.
Betapa ajaibnya, saat manusia meletakkan kepala di bumi, justru langit menjadi dekat. Dalam sujud, ruang dan waktu seolah menghilang. Yang ada hanya keintiman yang tak bisa dijelaskan logika: hamba dan Tuhan dalam kedekatan yang lebih nyata dari segala yang kasat mata. Sujud adalah saat ketika yang fana menyentuh yang kekal.
Tak ada yang lebih manusiawi daripada sujud. Karena kita diciptakan dari tanah, dan sujud mengingatkan kita akan asal itu. Bahwa sehebat apapun manusia berdiri, ia akan kembali ke bumi. Maka sujud adalah latihan kematian yang lembut, sebuah pengingat bahwa kita akan benar-benar menyentuhkan diri pada tanah untuk terakhir kalinya suatu hari nanti.
Dan tak jarang, dalam sujud, seseorang jatuh cinta. Bukan kepada dunia, bukan kepada manusia, tapi kepada Dia yang selama ini diam-diam menunggu hati itu kembali. Cinta yang tidak meminta balasan duniawi, cinta yang tidak menyakiti. Hanya kerinduan yang mengalir, dalam satu momen sunyi yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Setiap kali bangkit dari sujud, hati terasa lebih ringan. Seolah beban yang menyesakkan sebelumnya telah ditinggalkan di tanah, di tempat dahi bersujud. Sujud menyucikan. Ia tidak hanya menyembah, tapi menyembuhkan. Ia tak hanya memuliakan Tuhan, tapi memanusiakan hamba.
Sujud adalah pesan diam yang agung: bahwa dalam hidup ini, jika ingin dekat dengan-Nya, maka rendahkanlah dirimu. Tak perlu tinggi untuk dicintai Tuhan. Justru mereka yang tahu cara sujud, secara fisik dan batin, adalah mereka yang paling dekat, paling dikasihi, paling didekap oleh-Nya. Maka sujudlah… bukan hanya saat salat, tapi juga dalam hidup: dalam hati yang pasrah, dalam langkah yang tunduk, dan dalam cinta yang tulus hanya untuk Dia.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.