Beberapa hari terakhir, Kerinci diselimuti gelap. Lampu-lampu yang biasa menyala terang kini padam tanpa kabar. Salah satu menara SUTET roboh, dan bersamanya runtuh pula kenyamanan yang selama ini kita nikmati diam-diam. Rumah-rumah menjadi senyap, bukan hanya karena cahaya hilang, tapi karena hati-hati kita mulai terdiam oleh rasa kehilangan.
Di tengah gelap itu, keluh kesah merebak. Media sosial penuh dengan suara-suara resah. Anak-anak sulit belajar, usaha-usaha kecil merugi, dan malam menjadi panjang tanpa alunan kipas dan nyala layar. Kita mengeluh, dan itu manusiawi. Namun, tidakkah ini menjadi cermin? Betapa sering kita lupa bersyukur saat segala sesuatu berjalan lancar?
Saat lampu menyala tanpa gangguan, tak banyak yang kita ucapkan selain keluhan-keluhan kecil, tentang panasnya siang atau beratnya tugas. Kita berjalan dalam terang tanpa pernah menengadah seraya berterima kasih. Padahal, terang itu sendiri adalah karunia yang begitu besar, tapi hadirnya terasa biasa karena terlalu sering kita temui. Syekh Ibnu Athaillah RA dengan jernih menuliskan dalam Al-Hikam:
من لم يعرف قدر النعم بوجدانها عرفها بوجود فقدانها
“Orang yang tidak menyadari kadar karunia Allah saat sedang menikmatinya, maka ia akan menyadarinya ketika karunia itu sudah raib(diambil dari nya).” Dan begitulah kita, baru tersadar, ketika terang itu diambil, betapa berharganya ia.
Hilangnya listrik tak hanya memadamkan lampu, tapi juga menyalakan kesadaran. Kita belajar memahami, bahwa nikmat bukan hanya soal datangnya rezeki besar, tapi juga hadir dalam hal-hal yang tampak remeh: nyala lampu, dingin kipas, dan bunyi kulkas yang terus berdetak menjaga makanan kita tetap segar.
Betapa sering Allah mengirim nikmat dalam bentuk yang tak bersuara. Terang, air, udara, keamanan, dan kesehatan, semua itu hadir tanpa pengumuman, tanpa tepuk tangan. Kita berjalan melintasinya setiap hari, lalu lupa bahwa semua itu bukan kepastian, tapi anugerah yang bisa kapan saja diambil.
Kini, ketika malam datang lebih awal dan pagi terasa lebih lambat, mari kita diam sejenak. Bukan untuk mengutuk kegelapan, tapi untuk merenungi terang yang dulu sering kita abaikan. Mungkin inilah cara langit mengajari kita untuk kembali bersyukur, dengan kehilangan.
Ada hikmah yang dalam dalam setiap kejadian. Mungkin bukan hanya SUTET yang roboh, tapi juga kesombongan kecil dalam hati kita yang selama ini merasa segalanya bisa kita kendalikan. Padahal, satu tiang tumbang bisa membuat kita kembali merasa kecil dan butuh kepada-Nya.
Bukankah hidup memang begitu? Kehilangan menjadi guru terbaik bagi hati yang bebal. Dan syukur, sejatinya bukan hanya diucap saat nikmat datang, tapi juga saat musibah mengajarkan makna sejati dari nikmat itu sendiri. Maka jangan sia-siakan gelap ini, karena ia datang membawa pelita kesadaran.
Saat cahaya kembali, jangan hanya bersorak. Sambutlah ia dengan hati yang lebih tunduk, dengan doa yang lebih panjang, dan dengan syukur yang tak lagi tertunda. Karena kini kita tahu, bahwa terang itu bukan milik kita, ia titipan, dan sewaktu-waktu bisa kembali diambil.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd