Di balik kesunyian seorang hamba yang berdiri dalam shalat, ada percakapan agung yang tak terdengar oleh telinga dunia. Setiap lafaz yang meluncur dari lisannya, bukan sekadar bacaan, melainkan panggilan lembut kepada Tuhan yang Maha Mendengar. Di sanubari terdalam, ia membuka dirinya, menyingkap tabir kesombongan, dan berdiri dalam kepasrahan yang suci.
Di balik kesunyian seorang hamba yang berdiri dalam shalat, ada percakapan agung yang tak terdengar oleh telinga dunia. Setiap lafaz yang meluncur dari lisannya, bukan sekadar bacaan, melainkan panggilan lembut kepada Tuhan yang Maha Mendengar. Di sanubari terdalam, ia membuka dirinya, menyingkap tabir kesombongan, dan berdiri dalam kepasrahan yang suci.
Ketika ia mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin,” pujian itu bukan sekadar ritual, melainkan nyanyian syukur dari hati yang mengenal nikmat. Dan Allah, dengan cinta yang tak bertepi, menjawab, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Ada getaran halus di antara langit dan bumi, ketika pujian dan kasih sayang saling menyapa.
Lalu ia lanjutkan, “Ar-Rahmanir-Rahiim,” dan Tuhan yang Maha Pengasih kembali merespons, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.” Di sini, bukan hanya kata yang terucap, tapi jiwa yang menunduk, merasa kecil di hadapan lautan kasih yang tak bertepi. Betapa luas rahmat-Nya, mencakup yang tampak dan tersembunyi.
Kemudian ia berkata, “Maaliki yaumid diin.” Dalam kalimat itu, ia mengakui bahwa kelak semua akan kembali kepada-Nya, tak ada satu pun yang luput dari keadilan-Nya. Allah lalu berfirman, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku,” atau dalam riwayat lain, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.” Sebuah bentuk tunduk total, meletakkan seluruh kegelisahan hidup dalam genggaman Ilahi.
Saat hamba berkata, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” ia menyatakan dengan tegas: hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan. Inilah inti ibadah, poros dari segala penghambaan. Allah menjawab, “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Ada jembatan kasih yang terbentang, menghubungkan langit dan bumi dalam bisikan doa.
Dan ketika ia membaca, “Ihdinas-sirathal mustaqiim…,” sebuah permohonan meluncur dari lubuk hati terdalam, bukan untuk harta, bukan untuk dunia, tapi agar tidak tersesat. Agar langkahnya tetap lurus di jalan yang Kau ridai. Allah berkata, “Ini untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai dengan apa yang ia minta.” Sebuah janji penuh cinta dan harapan.
Betapa agungnya Surah Al-Fatihah, ia bukan sekadar pembuka kitab, tapi pembuka hati. Di setiap ayatnya, ada dialog rahasia antara Sang Pencipta dan makhluk yang rapuh. Di setiap lafaznya, ada tarikan cinta, ada pengakuan, ada harapan, dan ada penyerahan total.
Shalat pun berubah makna. Ia bukan lagi gerakan fisik semata, tapi sebuah perjalanan spiritual yang penuh makna. Setiap takbir, setiap ruku’, setiap sujud, semuanya menjadi detak jantung cinta seorang hamba yang rindu kepada Tuhannya. Ia bukan lagi terburu-buru menyelesaikan kewajiban, tapi terhanyut dalam nikmatnya percakapan suci.
Hadis ini mengajarkan kita bahwa Allah bukan Tuhan yang jauh dan membisu. Dia dekat, lebih dekat dari urat leher. Ia mendengar, merespons, dan mencintai. Ia tidak hanya menyimak doa kita, tapi menanggapi dengan kelembutan yang mengguncang jiwa.
Maka saat engkau shalat, jangan tergesa-gesa. Bayangkan engkau sedang berbicara dengan Dia yang menciptakanmu, yang tahu luka-lukamu, dan yang selalu menunggu untuk menyambutmu. Ucapkan setiap ayat dengan hati yang hidup, karena di sanalah, Tuhan sedang menjawabmu, dalam cinta yang tak pernah kering.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.