Suatu hari, di antara rutinitas mengajar di Boarding School(SMPIT LHI Bantul, Yogyakarta), saya mendapati galon air telah kosong. Hanya sekadar kebutuhan harian, namun pada momen itu, ternyata ada pelajaran besar yang Allah sisipkan diam-diam. Dengan lembut saya meminta tolong kepada dua santri yang tengah melintas. Satu peristiwa kecil, tapi mampu mengetuk pintu kesadaran dengan cara yang tak biasa.
Santri pertama memandang saya sejenak, lalu menjawab dengan jujur bahwa ia tak bisa membantu karena akan segera bermain basket. Ia tersenyum sopan, meminta pengertian. Saya mengangguk, mencoba memahami, meski dalam hati saya menyimpan seberkas kecewa. Tidak karena ia menolak, tetapi karena ia meletakkan hal lain di atas panggilan kepedulian.
Tak lama berselang, santri kedua datang. Wajahnya cerah, senyumnya lebar, dan sebelum saya sempat meminta, ia sudah menawarkan bantuan. Dengan semangat yang tulus, ia menggantikan galon yang kosong itu, tanpa keluh, tanpa banyak tanya. Hatinya ringan, dan tindakannya sederhana namun tulus. Di sanalah saya merasa disentuh oleh pelajaran yang tak disampaikan lewat buku.
Waktu berlalu, dan saya menyadari bahwa wajahnya begitu mudah saya ingat. Bukan hanya karena kebaikan yang ia lakukan, tapi karena ketulusan yang mengalir tanpa pamrih. Dan tanpa saya sadari, setiap kali ia meminta bantuan atau izin untuk sesuatu, hati saya lebih mudah luluh. Saya tergerak, bukan karena pilih kasih, tapi karena batin saya tahu siapa yang benar-benar hadir saat dibutuhkan.
Lalu saya merenung, tidakkah kita semua sedang memainkan peran yang sama dalam hubungan kita dengan Allah? Seringkali, saat perintah-Nya datang, kita menundanya. Kita berkata dalam hati, “Tunggu, ya Rabb… izinkan aku menyelesaikan urusanku lebih dulu.” Kita bernegosiasi dengan waktu, menunda ketaatan, dan mengutamakan keinginan sendiri.
Kita lupa, bahwa Allah tidak membutuhkan kita. Justru kitalah yang membutuhkan Dia. Dan ketika ada hamba lain yang dengan ringan hati menyambut panggilan-Nya, yang bersegera dalam sujud, dalam sedekah, dalam membantu sesama, maka merekalah yang akan dikenang langit. Mereka yang akan dimudahkan doanya, dikabulkan hajatnya, dijaga langkahnya.
Betapa sering kita datang kepada Allah dalam kesempitan, namun menolak-Nya saat lapang. Kita berdoa penuh harap, tapi enggan memenuhi harapan-Nya. Padahal, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui siapa yang benar-benar mencintai-Nya, bukan sekadar membutuhkan-Nya saat terluka.
Saya belajar dari dua santri itu, bahwa antusiasme dan ketulusan dalam hal-hal kecil mencerminkan kedalaman hati. Allah pun melihat hal yang sama. Dia tak hanya menilai dari besar kecilnya amal, tapi dari seberapa tulusnya kita menjawab panggilan-Nya. Dan ternyata, kedekatan itu tak dibangun dari amal besar, tapi dari kesungguhan kecil yang terus-menerus.
Maka mulai hari itu, saya ingin menjadi seperti santri yang kedua yang ringan hatinya, ringan langkahnya, dan ringan tangannya dalam menolong. Karena saya yakin, Allah pun akan lebih mudah melapangkan jalan orang-orang yang ringan dalam ketaatan.
Dan semoga, ketika suatu hari saya mengangkat tangan dalam doa, langit mengenang saya seperti saya mengenang santri itu, dengan senyum, dengan cinta, dan dengan kemurahan yang mengalir deras karena dulu saya bergegas ketika Allah memanggil.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd