Pernah ada sebuah kota, di tepi Sungai Tigris yang mengalir pelan, bernama Baghdad. Ia tak hanya dibangun dari bata, tapi juga dari ide-ide besar dan impian yang melampaui zamannya. Pada tahun 762 M, Khalifah Al-Mansur mendirikan Baghdad seperti seorang penyair membangun bait puisinya penuh cinta, detail, dan tujuan. Kota ini ditakdirkan bukan untuk perang, tapi untuk ilmu dan cahaya.
Di puncak kejayaannya, Baghdad bukan sekadar ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, tapi jantung intelektual dunia. Di sinilah dunia timur dan barat saling berbisik lewat bahasa, naskah, dan pengetahuan. Dan di sanubari kota inilah berdiri Bayt al-Hikmah, Baitul Hikmah, rumah bagi kebijaksanaan umat manusia. Sebuah perpustakaan? Ya. Tapi lebih dari itu: ia adalah universitas, pusat penelitian, dan jantung dari revolusi intelektual Islam.
Didirikan oleh Harun Al-Rasyid dan berkembang pesat di bawah putranya, Al-Ma’mun, Bayt al-Hikmah menjadi tempat para ilmuwan, filsuf, dokter, astronom, dan penyair bertukar pikiran dan menantang batas logika. Di ruangan-ruangan sunyi penuh tumpukan manuskrip, para penerjemah bekerja keras menerjemahkan teks-teks Yunani, Persia, India, dan Romawi ke dalam bahasa Arab. Dari Hipokrates hingga Ptolemaeus, semua disambut dalam pelukan Timur.
Di antara nama-nama besar, ada Hunayn ibn Ishaq, sang penerjemah legendaris. Ia tidak hanya memindahkan kata, tapi juga makna. Ia menjadikan Bayt al-Hikmah jembatan antara zaman dan peradaban. Al-Khwarizmi mengembangkan ilmu matematika di ruang-ruang Bayt al-Hikmah. Ia menciptakan “al-jabr” yang hari ini kita kenal sebagai aljabar. Dari sinilah lahir algoritma yang menggerakkan dunia digital kini.
Al-Kindi, sang filsuf pertama Arab, mencoba merangkul Plato dan Aristoteles dengan kebijaksanaan Islam. Baginya, filsafat bukan lawan wahyu, melainkan cermin yang memperindahnya. Di balik dinding Baitul Hikmah, diskusi terjadi sepanjang malam. Tentang asal usul alam semesta, jiwa manusia, hingga kedudukan bintang-bintang. Ini bukan sekadar debat ini adalah tarian akal dan nurani.
Ibnu Sina, meski berasal dari wilayah Persia, ilmunya tumbuh subur berkat atmosfer keilmuan Baghdad. Bukunya, Al-Qanun fi al-Tibb, menjadi referensi kedokteran dunia selama berabad-abad. Baghdad pada masa itu seperti mimpi: di pasar-pasarnya orang membaca, bukan hanya membeli. Di kedai-kedai kopi, orang mendiskusikan filsafat, bukan sekadar harga barang.
Fakta menarik: di Bayt al-Hikmah, bahkan ada observatorium untuk mengamati langit. Di sanalah para astronom menyusun tabel bintang, menghitung gerhana, dan mempelajari rotasi langit jauh sebelum teleskop ditemukan. Baghdad adalah bukti bahwa Islam tak hanya membawa wahyu, tapi juga merangkul akal. Keimanan dan ilmu bersatu dalam satu napas. Bayt al-Hikmah adalah simbol dari semangat itu.
Di kota ini, toleransi bukan slogan. Para ilmuwan non-Muslim Kristen, Yahudi, dan Zoroaster diberi tempat dan kehormatan. Karena ilmu tak pernah bertanya apa agamamu, hanya seberapa besar cintamu pada kebenaran. Namun, seperti semua kejayaan, waktu pun datang membawa gelap. Tahun 1258, pasukan Mongol meratakan Baghdad. Bayt al-Hikmah dihancurkan, dan sungai Tigris menghitam oleh tinta buku-buku yang dibuang ke dalamnya.
Dunia kehilangan salah satu mercusuar intelektual terbesar dalam sejarah. Tapi warisan Baitul Hikmah tak pernah padam. Ia berpindah ke Andalusia, ke Italia, dan kemudian ke seluruh Eropa. Tak banyak yang tahu, tapi Renaisans Eropa tak akan mekar tanpa akar dari Baghdad. Tanpa para ilmuwan Muslim yang melestarikan dan mengembangkan ilmu Yunani dan Romawi, dunia barat tak akan sama.
Baghdad mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan pada pedang, tapi pada pena. Bahwa peradaban dibangun bukan dengan perang, tapi dengan membaca, menulis, dan mendengarkan. Kini, saat dunia kembali gelisah, mungkin saatnya kita menoleh ke masa lalu bukan untuk terjebak di dalamnya, tapi untuk belajar dari cahaya yang pernah menyala di Bayt al-Hikmah. Karena dari sanalah harapan pernah tumbuh: bahwa ilmu adalah cahaya bagi seluruh umat manusia.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.