Di tengah banjir informasi, scroll tanpa henti, dan konten serba cepat, Sirah Nabawiyah bisa terasa seperti dongeng masa lalu. Tapi justru di era digital ini, Sirah makin penting. Bukan sekadar kisah untuk dibaca, tapi sebagai sumber inspirasi untuk aksi nyata. Sirah bukan koleksi cerita pasif, tapi peta hidup aktif.
Kisah Rasulullah ﷺ bukan untuk dikagumi saja, tapi ditiru. Bukan sekadar dibagikan di status, tapi dihidupkan dalam sikap. Kita hidup di zaman di mana nilai mudah diklaim, tapi jarang diterapkan. Sirah mengingatkan: keimanan itu bukan sekadar konten, tapi komitmen.
Bayangkan jika Rasulullah ﷺ hadir di era digital. Beliau mungkin tidak membuat konten viral demi likes, tapi pasti menyampaikan nilai yang berbekas. Beliau akan mengisi ruang digital dengan makna, bukan drama. Maka, sebagai umatnya, tugas kita hari ini adalah menjadikan media digital sebagai ladang dakwah, bukan sekadar hiburan.
Sirah mengajarkan keteguhan, ketulusan, dan keteladanan. Di era digital yang penuh pencitraan, kita butuh lebih banyak figur yang hidup dengan prinsip seperti Rasulullah, jujur meski tidak populer, sabar meski diserang, dan santun meski disalahpahami. Inilah aksi yang perlu muncul dari kisah Sirah.
Kita punya peluang luar biasa. Dulu, dakwah harus ditempuh dengan perjalanan berhari-hari. Kini, satu postingan bisa menyentuh ribuan orang. Tapi apa isi kontennya? Apakah mengangkat nilai-nilai Sirah, atau hanya ikut arus? Dari kisah ke aksi artinya: apa yang kamu serap dari Sirah, kamu salurkan ke publik dengan cara yang kreatif dan bijak.
Sirah juga memberi kita standar karakter: Rasulullah ﷺ adalah pribadi yang empati, pemaaf, dan rendah hati. Karakter ini bisa dan harus diterjemahkan ke dunia digital, dengan komentar yang bijak, unggahan yang membangun, dan interaksi yang tidak merendahkan orang lain. Aksi kecil seperti ini berdampak besar jika dilakukan konsisten.
Banyak anak muda merasa terinspirasi dari kisah Hijrah, Badar, atau Fathu Makkah. Tapi inspirasi tanpa aksi hanya akan jadi konsumsi emosional sesaat. Aksi bisa dimulai dari hal konkret: membentuk komunitas digital positif, membuat konten edukatif, atau bahkan berdiskusi sehat di kolom komentar.
Sirah juga mengajarkan bagaimana menyikapi kebencian. Rasulullah ﷺ sering difitnah, tapi beliau tak membalas dengan caci. Beliau menjawab dengan akhlak. Di dunia digital yang mudah menyulut emosi, mari bawa semangat Sirah, respon tenang, cerdas, dan penuh kasih, agar dunia online jadi ruang aman, bukan ladang konflik.
Menghidupkan Sirah di era digital bukan berarti jadi “ustaz dadakan”. Tapi jadi pribadi yang terinspirasi oleh Rasulullah dalam cara berpikir, berbicara, dan berinteraksi, baik online maupun offline. Kita semua punya peran: tidak harus sempurna, tapi harus terus bergerak dari kisah menuju aksi.
Akhirnya, Sirah adalah bahan bakar bagi jiwa muda yang haus arah. Di zaman yang membingungkan, Sirah memberi arah yang pasti. Maka jangan biarkan ia hanya jadi cerita indah. Bawa kisah itu ke dunia nyata, ke layar ponselmu, ke karya-karyamu, dan ke keputusan hidupmu. Karena Sirah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijalani.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.