Sering kali kita tertegun melihat kehebatan dunia luar, kekayaan yang melimpah, kecerdasan yang memesona, inovasi yang melambung tinggi. Kita pun terpesona, lalu berucap lirih, “Betapa luar biasanya mereka.” Namun, kekaguman itu kadang lahir bukan karena mereka terlalu tinggi, tapi karena kita terlambat mengenal akar kemuliaan kita sendiri.
Ketika lembaran sirah Nabawiyah kita buka perlahan, cahaya sejarah menyusup masuk ke dalam relung jiwa. Ternyata, dalam rumah besar Islam telah berdiri para tokoh agung, yang tak hanya hebat dalam pencapaian dunia, namun juga mulia dalam pengabdian kepada Tuhan dan umat manusia. Mereka bukan sekadar nama dalam buku sejarah, mereka pelita yang tak pernah padam.
Lihatlah Abdurrahman bin Auf, seorang saudagar besar yang mampu mengisi pasar Madinah dengan kekayaannya. Tapi harta itu tak pernah memenjarakan jiwanya. Ia lepaskan unta-unta sarat muatan demi jalan Allah, ia dermakan hartanya tanpa hitungan, hingga Umar menangis melihat kedermawanannya. Di balik kekayaannya, hatinya bersujud dalam kerendahan.
Dan ada pula Utsman bin Affan, sang pemilik dua cahaya, yang dengan tenang membeli sumur untuk umat ketika orang-orang haus. Ia wakafkan hartanya untuk pembangunan Masjid Nabawi. Ia tak berdiri di podium kehormatan, tapi Allah telah menyiapkan tempat mulia di sisi-Nya untuk orang yang membangun kebaikan tanpa suara.
Kita juga mengenal Khalid bin Walid, sang pedang Allah yang terhunus. Ia bukan hanya gagah di medan perang, tapi juga penuh tunduk pada takdir. Saat wafat, tak satu pun luka perang yang merenggut nyawanya. Ia menangis bukan karena takut mati, tapi karena ia rindu mati syahid. Di sanalah letak kehebatannya, ketangguhan dalam iman, bukan hanya di medan laga.
Dan jangan lupakan Aisyah binti Abu Bakar, ibu kaum mukminin, yang kecerdasannya melampaui zaman. Ia meriwayatkan ribuan hadis, menjadi rujukan ilmu bagi para sahabat. Dalam ruang-ruang rumahnya, ilmu bergema, dan dari hatinya mengalir kasih untuk umat. Ia adalah cahaya yang menuntun bukan hanya wanita, tapi seluruh peradaban.
Ada pula Ibnu Sina, ilmuwan besar yang tak hanya menguasai dunia medis tapi juga filsafat dan logika. Karyanya melintasi benua dan masa, menjadi dasar pendidikan hingga hari ini. Tapi ia tak pernah memisahkan ilmu dari iman, sebab baginya pengetahuan adalah jalan menuju pengenalan kepada Sang Pencipta.
Seakan semua itu ingin berkata kepada kita: “Lihatlah siapa dirimu.” Bukan untuk membusungkan dada, tetapi agar kita tahu bahwa Islam bukan agama yang tertinggal. Ia pernah melahirkan manusia-manusia luar biasa, yang mengukir sejarah dengan tinta pengorbanan, cinta, dan cahaya iman.
Kekaguman kita pada dunia luar adalah tanda bahwa hati kita masih hidup. Namun jangan biarkan kekaguman itu membuat kita lupa pada akar sendiri. Mari gali kembali kisah-kisah para tokoh Islam yang agung. Bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk diteladani, agar kita tidak hanya bangga pada masa lalu, tapi turut menyalakan masa depan.
Mereka semua adalah cermin, tempat kita menatap bayang-bayang kemuliaan yang masih mungkin kita raih. Kita tidak kekurangan contoh, hanya perlu membuka mata dan hati. Sebab kehebatan sejati bukan hanya tentang nama yang dikenang dunia, tapi tentang jiwa yang dikenali oleh langit.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd