Hijrah itu bukan cuma pindah tempat. Dalam Sirah Nabawiyah, hijrah adalah momen ketika hati dan visi bertemu, perpindahan fisik yang dibarengi dengan lompatan spiritual dan strategi besar. Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya tidak sekadar kabur dari tekanan Mekkah, tapi sedang memulai babak baru kehidupan yang penuh makna.
Kita sering mendengar kata “hijrah” dipakai untuk perubahan diri, meninggalkan kebiasaan lama menuju yang lebih baik. Tapi kisah hijrah Rasulullah mengajarkan lebih dari itu. Ini bukan cuma tentang meninggalkan, tapi tentang merancang masa depan yang lebih terarah, dimulai dari kekuatan hati yang yakin, dan visi yang tajam.
Sebelum hijrah, Rasulullah mengalami fase terberat dalam hidupnya: kehilangan istri tercinta, Khadijah, dan pamannya Abu Thalib. Itu bukan kebetulan. Dalam hidup, seringkali jalan perubahan dibuka lewat rasa kehilangan. Dan justru di situlah hati diuji: apakah tetap terpaku di masa lalu, atau melangkah menuju harapan baru?
Di tengah kesedihan, datanglah perintah hijrah. Rasulullah tidak menunggu semua orang paham atau semua situasi tenang. Visi beliau lebih besar dari kenyamanan hari ini. Hijrah adalah contoh bahwa ketika hati sudah mantap, dan tujuan sudah jelas, maka rintangan bukan alasan untuk diam.
Proses hijrah tidak instan. Beliau menyusun strategi, menunggu waktu yang tepat, menyusun rute, bahkan bersembunyi di gua. Ini menunjukkan bahwa niat baik saja tidak cukup. Harus ada perencanaan, kesabaran, dan keberanian untuk keluar dari zona aman. Hijrah itu perhitungan, bukan pelarian.
Di Gua Tsur, saat musuh hampir menemukan tempat persembunyian mereka, Abu Bakar ketakutan. Tapi Rasulullah menenangkan: “Jangan takut, Allah bersama kita.” Di sinilah hati dan visi benar-benar menyatu. Keyakinan menjadi kekuatan. Inilah energi hijrah: ketenangan karena tahu kita melangkah bersama Allah.
Saat tiba di Madinah, Rasulullah langsung bergerak: membangun masjid, mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, menyusun Piagam Madinah. Beliau tidak membuang waktu untuk nostalgia. Ini pelajaran penting: saat memulai babak baru, isi dengan aksi. Jangan hanya bicara perubahan, tapi wujudkan dengan kerja nyata.
Hijrah Nabi juga bukan perjalanan individu. Beliau mengajak umat untuk hijrah bersama. Ini mengajarkan bahwa perubahan yang benar itu menular. Maka kalau hatimu sudah bergerak, ajak yang lain. Visi yang besar butuh komunitas, bukan ego yang jalan sendiri.
Bagi kita hari ini, hijrah bisa berarti meninggalkan toxic relationship, melepaskan kebiasaan buruk, memulai usaha baru, memperbaiki ibadah, atau belajar hal baik yang selama ini diabaikan. Setiap langkah hijrah kita, sekecil apapun, adalah bagian dari perjalanan menuju cahaya, asal dilakukan dengan hati yang ikhlas dan arah yang jelas.
“Sirah Talks” hari ini ingin bilang: kamu boleh lelah, kamu boleh takut, tapi jangan berhenti. Kalau hatimu sudah merasa gelisah, dan visimu sudah mulai terbentuk, mungkin itu pertanda: waktunya hijrah. Seperti Nabi, mari kita bawa hati dan visi kita menyatu di jalan perubahan. Bukan sekadar pindah arah, tapi bergerak menuju kebaikan yang hakiki.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.