Setelah tiga setengah tahun meniti jalan panjang di Yogyakarta, belajar, mengajar, mencuci mimpi dengan keringat dan doa, tiba waktunya untuk diam sejenak, mendengar suara yang sejak awal selalu ada di hati, yaitu suara ibu.
Bukan suara yang memaksa, tapi suara yang lirih dan penuh cinta: "Nak, kalau bisa, pulanglah… ibu tidak nyaman jika terlalu jauh dari anaknya." Kata-kata itu tak pernah terdengar sebagai beban, melainkan undangan untuk kembali ke akar, ke tempat segalanya bermula.
Sebagian orang mungkin mengira pulang adalah pilihan yang kalah. Tapi bagi saya, pulang adalah kemenangan karena tidak semua orang berani kembali saat dunia memberi banyak alasan untuk berada di zona nyaman dan pergi lebih jauh.
Saya memilih pulang bukan karena kehilangan arah, tetapi karena telah cukup mengerti, bahwa akar yang disirami ilmu, akan menumbuhkan makna, terutama jika itu tumbuh di tanah sendiri, untuk orang-orang yang dulu turut menumbuhkan saya.
Ibu pernah melepaskan anaknya ke tanah perantauan dengan tangis dan doa. Kini, biarlah saya kembali dengan ilmu, rasa, dan semangat mengabdi. Karena mimpi sejati bukan tentang pencapaian pribadi, tapi tentang bagaimana kehadiran kita bisa menyalakan lentera bagi yang lain. Pulang bukan titik akhir. Pulang adalah titik terang.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd