Langit Gontor pagi itu begitu bersahaja. Langkahku menyusuri jalan menuju Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor terasa seperti menelusuri jejak-jejak kasalehan yang diam-diam meresap kedalam dada. Disetiap sudutnya, aku melihat wajah-wajah muda yang membawa cahaya, mata yang bersinar karena ilmu, dan langkah yang pasti karena iman. Hati kecilku berbisik, inilah tempat dimana jiwa-jiwa ditempa menjadi cahaya peradaban.
Di kampus ini, para santri tak hanya diajarkan huruf dan angka, tapi juga keikhlasan, tanggung jawab, dan cinta yang tak lekang oleh zaman. UNIDA Gontor bukan sekadar lembaga pendidikan, ia adalah taman ilmu yang mekar dari benih keikhlasan para pendirinya. Setiap bangunannya menyimpan kisah perjuangan. Setiap lantainya menampung rindu yang panjang dari anak-anak yang belajar menjauh dari rumah demi menjadi insan yang berguna.
Dari UNIDA, aku melanjutkan langkah ke pondok, ke jantung tradisi, ke tempat di mana mimpi-mimpi besar lahir dari lantunan doa dan kerja keras. Di sinilah aku melihat mereka, para santri, berdiri gagah menyambut senja dengan langkah serempak. Ada semacam kekuatan tersembunyi dalam barisan mereka. Bukan sekadar barisan tubuh, tapi barisan tekad dan harapan.
Panggung Gembira malam itu menorehkan kesan yang tak akan lekang dari ingatan. Di atas pentas, para santri menari dalam alunan budaya dan semangat kebersamaan. Bukan tontonan biasa, melainkan persembahan jiwa, hasil latihan panjang, kerja keras, dan cinta yang dalam pada pondok ini. Sorak sorai penonton bercampur dengan haru yang membungkus malam menjadi kenangan yang hangat.
Di tengah gemuruh tepuk tangan, aku merenung dalam diam. Seandainya dulu aku menjadi santri di sini, mungkinkah aku juga ikut berdiri di atas panggung itu? Ada harapan lama yang mengendap di relung hati, cita-cita masa kecil yang belum sempat terwujud. Tapi aku tidak menyesal. Karena walaupun aku bukan bagian dari mereka secara langsung, aku telah menyaksikan keagungan proses yang mereka jalani.
Ada kebanggaan yang tak bisa kusembunyikan ketika melihat bagaimana pondok ini membentuk manusia. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga matang secara emosional dan spiritual. Mereka yang ditempa di sini belajar untuk bersyukur dalam kekurangan, bersabar dalam kesulitan, dan rendah hati dalam keberhasilan. Nilai-nilai itu, diam-diam menggetarkan hatiku.
Dan lebih dari itu, aku bersyukur karena Tuhan memberiku banyak sahabat dan guru yang berasal dari sini. Mereka adalah pribadi-pribadi yang teguh, penuh kasih, dan selalu hadir dengan nasihat bijak yang meneduhkan. Dari mereka, aku seakan mencicipi buah dari pohon pendidikan Gontor yang kokoh dan lebat itu.
Pondok ini bukan hanya mencetak cendekia, tapi juga manusia. Manusia yang utuh, yang pikirannya luas, hatinya lapang, dan tindakannya penuh adab. Di dunia yang sering riuh oleh ego dan ambisi, keberadaan mereka adalah oase. Aku percaya, selama dunia masih punya pondok seperti Gontor, harapan peradaban tidak akan pernah padam.
Malam itu, saat lampu panggung padam dan para santri kembali ke asrama, aku menatap langit Gontor sekali lagi. Di sana, bintang-bintang seperti tersenyum. Dan aku tahu, bahwa meskipun aku bukan santri di sini, Gontor telah menanam sesuatu di hatiku, sebuah rasa hormat, kagum, dan cinta yang dalam.
Aku pulang membawa lebih dari sekadar foto dan kenangan. Aku pulang membawa semangat. Semangat untuk menjadi lebih baik, untuk meneruskan nilai-nilai mulia yang kutemui di sini. Karena dalam hidup, bukan soal di mana kita ditempa, tapi bagaimana kita menghargai dan meneladani mereka yang telah lebih dahulu menempuh jalan kebaikan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd