Kurikulum Merdeka membawa semangat pembaruan yang mendalam dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satu ruh terpenting yang ditanamkan adalah gagasan tentang pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Bukan sebagai gimmick atau selingan, tetapi sebagai filosofi pedagogis yang memanusiakan proses belajar dan mendekatkan guru kepada esensi mendidik yang sejati.
Dalam praktik Kurikulum Merdeka, pembelajaran yang menyenangkan bukan berarti kelas harus riuh tanpa arah. Justru sebaliknya, suasana yang joyful adalah kondisi di mana anak merasa aman, dihargai, diterima, dan diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Ketika rasa senang hadir, maka daya serap meningkat, dan semangat belajar tumbuh dari dalam, bukan karena tekanan dari luar.
Joyful learning menekankan pentingnya hubungan emosional yang sehat antara guru dan murid. Ini menjadi dasar lahirnya keterlibatan (engagement) yang otentik. Murid tidak akan pernah benar-benar belajar dari orang yang mereka takuti. Namun mereka akan mengingat seumur hidup guru yang membuat mereka merasa dihargai, didengarkan, dan dicintai saat belajar.
Kurikulum Merdeka membuka banyak pintu untuk menghadirkan kebahagiaan dalam pembelajaran seperti proyek tematik, eksplorasi dunia nyata, permainan edukatif, seni, gerak, dan ekspresi diri. Aktivitas belajar tidak lagi seragam dan satu arah, melainkan kaya variasi dan disesuaikan dengan karakter siswa. Di sinilah peran guru berubah dari pengendali menjadi desainer pengalaman belajar.
Implementasi pembelajaran berdiferensiasi juga memberikan peluang besar bagi personalized joyful learning. Ketika guru menyusun kegiatan yang sesuai dengan minat, gaya belajar, dan kesiapan masing-masing murid, maka anak merasa dikenali dan dihargai. Dari pengakuan inilah muncul rasa percaya diri dan kesenangan untuk terus belajar.
Bentuk joy dalam kelas bisa sederhana namun dalam maknanya memberi waktu istirahat kognitif, membuat ice breaking yang relevan, melibatkan humor ringan, memberi pujian tulus, atau membiarkan anak bereksplorasi tanpa takut salah. Ketika guru sadar bahwa suasana hati anak adalah pintu masuk utama belajar, maka strategi pun akan disusun dengan lebih empatik.
Namun, joyful learning dalam Kurikulum Merdeka bukan berarti pembelajaran menjadi tanpa arah atau longgar tanpa struktur. Justru sebaliknya, di dalam sukacita itu terkandung tujuan belajar yang jelas, keterlibatan aktif murid, serta penguatan karakter. Anak belajar sambil merasa bahwa dirinya sedang tumbuh dan memaknai proses, bukan sekadar mengerjakan tugas.
Guru yang menjalankan joyful learning dengan sadar adalah guru yang juga sedang mendidik dirinya sendiri: belajar hadir, belajar mendengar, belajar mencintai profesinya kembali. Karena kunci dari kelas yang menyenangkan bukan hanya metode, tetapi energi jiwa guru yang mengalir dengan hangat dan terbuka.
Dalam skala yang lebih luas, joyful learning adalah bagian dari ekosistem belajar yang sehat. Sekolah perlu mendukung budaya pembelajaran yang positif, tidak berpusat pada ranking, tetapi pada proses. Asesmen pun diarahkan untuk membangun motivasi internal, bukan sekadar menilai benar atau salah.
Pada akhirnya, joyful learning dalam Kurikulum Merdeka adalah bentuk cinta yang dijalankan secara sistematis. Ia bukan sekadar membuat anak tertawa, tetapi membuat mereka merasa hidup. Pendidikan tidak akan pernah bisa berhasil dengan rasa takut. Tapi pendidikan bisa mengubah segalanya ketika dimulai dengan rasa ingin tahu, ditumbuhkan oleh rasa aman, dan disiram oleh kegembiraan belajar yang otentik.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd