Setelah sujud dalam keagungan ruku’, tubuh perlahan terangkat kembali. Inilah I’tidal, sebuah gerakan yang sekilas sederhana: berdiri tegak setelah ruku’. Namun dalam keheningannya, tersembunyi sebuah makna yang dalam, bahwa seorang hamba, meskipun telah tunduk, harus bangkit lagi. Bahwa hidup bukan hanya tentang sujud dan tunduk, tapi juga tentang berdiri dengan keyakinan dan menggenggam kepercayaan bahwa Allah melihat dan mendengar.
Dalam I’tidal, hamba berdiri bukan dengan sombong, tapi dengan harap. Dengan dada yang lapang karena telah melepaskan ego dalam ruku’, kini ia menegakkan diri sebagai manusia yang penuh kebergantungan kepada Tuhannya. Inilah momen seimbang antara rendah hati dan percaya diri, antara penyerahan dan permohonan.
Kita mengucapkan, Sami’allahu liman hamidah, Allah mendengar siapa saja yang memuji-Nya. Ucapan ini adalah janji sekaligus pelipur bahwa tidak ada pujian kita yang sia-sia, tak ada syukur yang tak terjawab. Bahkan jika hanya suara hati yang lirih, Allah mendengarnya. Dalam dunia yang sering abai, kalimat ini adalah peneguhan bahwa kita tidak sendiri.
Dan kita menyambungnya dengan Rabbana lakal hamd, Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji. Inilah inti dari hidup yang lurus: pujian yang tak disandarkan pada diri, tapi diserahkan seluruhnya kepada Allah. Karena apalah arti kekuatan kita, jika bukan karena pertolongan-Nya? Apalah arti bangkit dari ruku’, jika bukan karena cinta-Nya yang mengangkat?
I’tidal adalah pengingat bahwa setelah setiap kejatuhan, selalu ada ruang untuk bangkit. Setelah setiap sujud hati, ada panggilan untuk berdiri kembali dan melanjutkan langkah. Ia adalah momen ketika kita berkata dalam diam, “Aku belum selesai, ya Allah. Aku masih ingin melangkah di jalan-Mu.”
Gerakan ini juga menunjukkan keseimbangan hidup. Bahwa dalam ibadah, seperti dalam kehidupan, tidak ada yang terus-menerus sujud, dan tidak pula terus-menerus berdiri. Ada waktu untuk merendah, dan ada saat untuk bangkit. Ada saat untuk menangis, dan ada pula waktu untuk mengangkat wajah dengan harap.
Dalam I’tidal, jiwa menegakkan kembali arah. Setelah ruku’ yang menyadarkan kita akan kelemahan, dan sebelum sujud yang akan menggenapkan kerendahan, I’tidal datang sebagai jembatan, sebagai momen bernapas di antara keikhlasan dan pengharapan.
Lalu apa artinya berdiri, jika bukan untuk menuju sujud yang lebih dalam? Dalam salat, seperti dalam hidup, berdiri bukanlah akhir. Ia adalah pengantar menuju ketundukan yang lebih mesra. Karena itu, I’tidal bukan tempat berdiam, tapi ruang untuk bersiap kembali meletakkan wajah di tanah cinta-Nya.
Ketika kita mengucap Rabbana lakal hamd dalam hati yang tenang, di situlah letak keindahan paling murni. Kita mengakui bahwa bahkan saat berdiri, kita tetap hamba. Bahwa kemuliaan bukan berasal dari posisi, tapi dari pengakuan akan siapa yang benar-benar Maha Tinggi.
Maka berdirilah dengan tenang. Biarlah tubuh tegak, tapi hati tetap tunduk. Jadikan I’tidal sebagai jeda harapan. Sebagai titik kecil dalam salat, namun besar dalam makna: bahwa hidup ini adalah perjalanan bolak-balik antara bangkit dan sujud, antara mengucap syukur dan memohon, antara kekuatan dan kerendahan. Dan bahwa dalam semua itu, Allah-lah satu-satunya tempat kita berdiri dan bersandar.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.