Hidup ini, sejatinya, hanyalah persinggahan. Layaknya kita berada di sebuah bandara, ramai, sibuk, penuh lalu-lalang manusia dari berbagai arah, tempat transit sementara sebelum menuju tujuan akhir. Sebagus apapun fasilitasnya, semewah apapun bangunannya, tak satu pun dari kita ingin menetap lama di sana. Kita datang membawa harapan, menunggu waktu, dan akhirnya bersiap menuju tujuan yang sebenarnya. Karena hati kita tahu, tempat ternyaman adalah rumah tempat kita kembali, tempat kita merasa utuh.
Begitulah hakikat dunia ini, tempat kita singgah sejenak sebelum meneruskan perjalanan panjang menuju akhirat. Dunia bukan tempat tinggal abadi, melainkan tempat kita mempersiapkan bekal. Dunia, betapapun gemerlapnya, hanyalah ruang tunggu. Ia menjanjikan kenikmatan, menyuguhkan kebahagiaan, namun semuanya semu dan fana. Ada senyum yang berubah menjadi tangis, ada tawa yang berujung pilu. Sebab dunia bukan tempat kita untuk selamanya. Ia adalah jembatan menuju kehidupan yang abadi akhirat.
Sering kali kita lupa bahwa waktu di ruang tunggu ini terbatas. Kita terbuai menghias dunia, mengejar keinginan, melupakan bekal perjalanan. Padahal, tiket keberangkatan kita telah ditentukan dan tak ada pengumuman yang lebih pasti selain kematian yang datang tanpa aba-aba. Kadang kita terlena karena dunia menyuguhkan kenyamanan, prestise, dan kesenangan sesaat. Kita tergoda membangun istana, menumpuk harta, dan menghiasi hidup dengan gemerlapnya. Namun, di balik semua itu, kita tahu semua yang kita bangun di sini, akan kita tinggalkan.
Kita duduk bersama dunia, menikmati secangkir mimpi, berbincang dengan ambisi, dan terkadang lupa bahwa semua ini bukan milik kita. Kita lupa menoleh pada langit, lupa menyebut nama-Nya dalam desah nafas kita. Padahal, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang, dan langkah terasa ringan menapaki jalan pulang. Selayaknya Bandara yang tak pernah menawarkan keabadian. Begitu pun dunia. Setiap keberangkatan pasti diikuti perpisahan. Setiap pertemuan menyimpan benih perpisahan. Dan setiap kelahiran, menyimpan janji kematian. Kita hanyalah musafir, yang sedang menunggu panggilan boarding menuju kampung halaman abadi akhirat.
Sungguh, hati ini merindu rumah sejati. Tempat di mana tak ada tangis, tak ada sakit, tak ada kehilangan. Tempat di mana jiwa bertemu kembali dengan Rabb-nya, dalam damai yang tak terlukiskan. Di sanalah kita ingin pulang. Di sanalah kebahagiaan sejati menanti. Pulang adalah kata yang begitu indah, ia menyimpan rindu, menanti pertemuan. Seperti jiwa yang lelah merindukan Tuhannya, rumah kita yang sejati bukan di sini, tapi di sisi Allah. Di surga yang luasnya seluas langit dan bumi, tempat di mana tak ada lagi kesedihan, kehilangan, atau perpisahan. Untuk bisa pulang dengan tenang, kita butuh bekal. Bukan harta, bukan jabatan, tapi amal yang ikhlas, hati yang bersih, dan cinta yang tulus kepada Sang Pencipta. Karena hanya mereka yang mempersiapkan diri-lah yang akan pulang dalam pelukan rahmat-Nya, bukan dalam penyesalan.
Namun, perjalanan ke sana tak sesederhana menaiki pesawat. Ia menuntut bekal, ia menuntut kesungguhan, keikhlasan, dan amal yang murni. Karena akhirat tak dapat dibeli dengan dunia. Ia hanya bisa diraih oleh mereka yang menjaga hati, membersihkan niat, dan mencintai Allah lebih dari dunia. Setiap napas yang kita hirup adalah hitungan waktu menuju kepulangan, setiap detak jantung adalah pengingat bahwa keberangkatan makin dekat. Maka, alangkah meruginya jika kita menghabiskan waktu di ruang tunggu ini dengan lalai dan angkuh, padahal tiket kepulangan bisa datang kapan saja.
Seperti penumpang yang tak ingin ketinggalan pesawat, mari kita bersiap. Periksa kembali bekal kita: apakah cukup? Apakah layak? Apakah ikhlas? Jangan sampai kita terlena, lalu kehilangan arah saat nama kita dipanggil. Bayangkan jika malaikat maut datang saat kita sedang tertawa tanpa makna, sedang marah tanpa kendali, sedang lupa pada shalat, atau sedang mengejar dunia tanpa arah. Akankah kita siap? Akankah kita sanggup menjawab semua tanya yang datang setelah napas terakhir?
Oleh karena itu, jadikan setiap langkah di dunia ini sebagai langkah menuju Allah. Jadikan dunia ini ladang amal, bukan tempat membangun kesombongan. Sebab, mereka yang bijak adalah mereka yang menanam kebaikan di bumi, karena ia tahu buahnya akan dipetik di akhirat. Tak mengapa hidup sederhana di dunia, asal megah di akhirat. Tak mengapa menahan lelah karena ibadah, asal kelak kita istirahat di surga. Dunia bukan tempat untuk menuntut bahagia sepenuhnya. Dunia adalah tempat berjuang agar kelak kita bisa bahagia selamanya.
Ingatlah, rumah sejati kita bukanlah rumah di sudut kota, bukan vila di atas bukit, bukan apartemen mewah di langit tinggi. Rumah sejati kita adalah surga. Di sanalah ada sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, ada kenikmatan yang tak pernah usang, dan ada pertemuan indah dengan Sang Pencipta. Jangan biarkan dunia menipu kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa makna. Jangan biarkan hati beku oleh dosa. Bangkitlah, perbaiki niat, perbanyak sujud, sebab Allah Maha Pengampun bagi siapa yang mau kembali. Semoga kita tidak menjadi orang yang sibuk menghias bandara, tapi lupa membeli tiket pulang. Semoga kita bukan orang yang menyesal ketika nama kita dipanggil, namun belum siap meninggalkan dunia yang terlalu dicintai.
Mari kita hiasi dunia dengan amal, bukan semata dengan harta. Mari kita isi hari-hari dengan dzikir, bukan hanya dengan keluh kesah. Mari kita rawat hati agar tetap hidup, agar kelak kita bisa pulang dalam keadaan tenang, bahagia, dan dirindukan langit. Sebab pada akhirnya, dunia ini hanya tempat transit. Dan rumah sejati kita adalah akhirat. Maka, kemaslah hatimu dengan keimanan, bekalilah jiwamu dengan amal, dan bersiaplah untuk pulang. Sebab panggilan itu akan datang. Dan kita ingin pulang dalam keadaan dirindukan oleh surga.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.