Di hamparan malam yang senyap, saat manusia terlelap dalam gelap, Abd al-Rahman al-Sufi justru menatap langit. Bagi kebanyakan orang, bintang hanyalah titik cahaya. Tapi bagi Al-Sufi, setiap bintang adalah huruf dalam kitab alam, yang menunggu dibaca dengan kesungguhan dan kerendahan hati.
Al-Sufi dikenal dalam dunia Barat sebagai Azophi, astronom Muslim dari Persia yang hidup di abad ke-10. Ia menulis mahakarya “Kitab Suwar al-Kawakib al-Thabitah” (Buku Gambar Bintang Tetap), karya yang menggabungkan keindahan seni, kecermatan sains, dan keimanan yang dalam.
Dalam bukunya, Al-Sufi tak hanya mencatat posisi bintang, tapi juga memberi gambaran visual bintang-bintang dalam bentuk konstelasi. Ia membandingkan konstelasi Yunani (Ptolemaeus) dengan pengamatan nyata dan tradisi Arab, menjadikan ilmunya jembatan antara Timur dan Barat.
Ia adalah orang pertama yang mendeskripsikan secara ilmiah Galaksi Andromeda, yang ia sebut sebagai “awan kecil” di rasi Bintang Besar. Penemuannya itu jauh mendahului teleskop dan menjadi salah satu catatan tertua tentang galaksi di luar Bima Sakti.
Al-Sufi bekerja dengan matematika langit, tetapi ia tidak kehilangan akar pada bumi. Ia memastikan semua pengamatannya dilakukan secara sistematis dan dapat diuji. Ia tidak tergesa-gesa membuat kesimpulan, karakter seorang ilmuwan sejati yang mengedepankan kesabaran intelektual.
Dalam dunia Islam, ilmu bintang bukan untuk meramal nasib, tapi untuk membaca keteraturan ciptaan Tuhan, memahami waktu-waktu ibadah, arah kiblat, dan navigasi laut. Al-Sufi adalah salah satu contoh ilmuwan yang mengintegrasikan sains dan iman tanpa bertabrakan.
Ia memotret langit dengan pena dan nalar, bukan lensa dan kabel. Tapi ketelitian ilustrasi dan data bintangnya bahkan digunakan selama berabad-abad di Eropa dan dunia Islam. Banyak bintang yang namanya masih memakai istilah Arab karena pengaruh Al-Sufi dan generasinya.
Dalam dunia modern, banyak ilmuwan terjebak dalam pencapaian dan ego. Tapi Al-Sufi menunjukkan bahwa pengakuan bukanlah tujuan utama. Ia menulis bukan untuk dikenal, tapi agar cahaya pengetahuan tetap menyala bagi generasi setelahnya.
Dalam keheningan malam dan gemerlap bintang, Al-Sufi menyampaikan pesan yang tak tertulis: bahwa keagungan langit justru mengajarkan kita untuk bersujud lebih rendah. Karena semakin banyak yang kita tahu, semakin dalam rasa kagum terhadap Yang Maha Tahu.
Nama Al-Sufi kini mungkin tak tercetak di buku pelajaran kita. Tapi jika kita menatap langit malam dan bertanya, "Siapa yang lebih dulu membacanya?", jawabannya adalah Al-Sufi, sang perintis astronomi Islam yang menatap bintang bukan untuk membanggakan diri, melainkan untuk mengenali kebesaran Ilahi.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.