Dalam perjalanan hidup, kita sering disuguhi pemandangan luka dosa yang tergores nyata pada diri orang lain. Kita melihatnya seperti noda di kain putih, mudah terbaca, mudah ditebak. Tapi seringkali kita lupa bahwa manusia adalah kisah yang belum selesai. Mereka yang kita nilai hari ini, bisa saja telah menumpahkan air mata tobat yang tak kasat mata semalam. Dan kita, hanya melihat permukaannya.
Begitu gampangnya lidah menghakimi, seolah hidup ini perlombaan suci, dan kita selalu berada di garis depan. Kita merasa lebih bersih karena tak ada yang tahu borok kita sendiri. Padahal, bukankah kita pun pernah jatuh di lubang yang sama atau bahkan lebih dalam? Namun karena dosa kita tersembunyi rapi, kita merasa aman untuk menuding dan menasihati dengan nada tinggi.
Ada orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan, namun menangis dalam sunyi. Ada pula yang terlihat alim dalam keramaian, tapi menyimpan kebusukan dalam sunyi. Maka siapa di antara kita yang benar-benar tahu siapa yang lebih dekat pada ampunan-Nya? Mengapa begitu cepat kita menyimpulkan nasib jiwa orang lain, saat Tuhan sendiri memberi mereka waktu dan ruang untuk kembali?
Taubat adalah hal yang tak terlihat. Ia hadir dalam gemetar tangan yang menengadah, dalam malam yang basah oleh air mata, dalam bisik-bisik doa yang tidak pernah diumumkan. Ia adalah rahasia antara manusia dan Tuhan. Maka siapa kita yang merasa berhak menilai seseorang dari masa lalunya, jika masa kini dan masa depannya masih dalam genggaman kasih sayang Ilahi?
Hati manusia begitu rumit, penuh luka dan pelajaran. Dosa yang ia lakukan kadang bukan karena jahat, tapi karena hampa, lelah, atau tersesat. Dan ketika ia kembali pada Tuhan, ia kembali dengan membawa perih yang tidak kita pahami. Jangan-jangan, luka yang ia bawa lebih mulia daripada kebanggaan yang kita pelihara atas kesalehan kita.
Ketika kamu merasa lebih baik dari orang lain, lihatlah hatimu. Mungkin tanpa sadar kamu sedang mencicipi kesombongan, dosa yang menghitamkan cahaya amal. Sedangkan ia yang kamu pandang hina, justru tengah duduk di sajadah panjang, bernegosiasi dengan Tuhannya tentang hidup yang ingin ia benahi. Tidak adakah getar di hatimu saat menyadari betapa mungkin kamu yang tertinggal?
Dalam diam, Tuhan menyaksikan perubahan. Ia melihat bagaimana seseorang mengganti malam-malammu yang tenang dengan malam-malam yang penuh tangis tobat. Ia tahu siapa yang bersungguh-sungguh menyesal, dan siapa yang bersandar pada kebaikannya sendiri. Maka berhentilah merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih mulia. Karena bisa jadi, kamu hanya belum diuji seperti mereka.
Betapa indahnya jika kita mampu melihat sesama dengan mata kasih, bukan mata penghakiman. Menyadari bahwa setiap manusia adalah pendosa yang sedang belajar pulang. Kita semua berjalan di atas jalan yang sama: menuju pengampunan. Dan satu-satunya yang membuat langkah itu lebih ringan adalah kerendahan hati, bukan keangkuhan rohani.
Jadilah teman dalam perjalanan pulang itu. Ulurkan tangan, bukan telunjuk. Dukung dengan doa, bukan cela. Ingatkan dengan cinta, bukan cemooh. Karena satu kata yang lembut bisa menuntun seseorang pada pintu taubat, sedangkan satu celaan bisa mendorongnya kembali ke jurang. Jadilah cahaya yang menyala di tengah gelap, bukan api yang membakar.
Akhirnya, kita semua akan berdiri sendiri di hadapan-Nya. Tak ada pembelaan, tak ada topeng. Yang berbicara adalah hati, amal, dan air mata. Maka semoga saat itu tiba, kita telah cukup sibuk memperbaiki diri, bukan membandingkan diri. Karena yang paling baik di antara kita, bukanlah yang paling terlihat suci melainkan yang paling rendah hati dalam memperbaiki diri.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.