Di antara lembar sejarah kedokteran Islam, nama Ibn al-Nafis terpatri sebagai tokoh revolusioner yang menulis ulang pemahaman dunia tentang tubuh manusia. Ia bukan hanya dokter, tapi juga filsuf dan penulis produktif yang menyatukan ilmu, keyakinan, dan keingintahuan dalam denyut kehidupan manusia.
Lahir di dekat Damaskus pada tahun 1213 M, Alauddin Abu al-Hassan Ali ibn Abi al-Hazm al-Qurashi al-Dimashqi, atau yang lebih dikenal sebagai Ibn al-Nafis, tumbuh di tengah gemuruh ilmu dan pergolakan peradaban. Sejak muda, ia tenggelam dalam studi kedokteran di Rumah Sakit Nuri Damaskus, tempat ia mulai memahami tubuh bukan sebagai benda mati, tapi ciptaan Tuhan yang agung.
Dalam dunia yang masih dikuasai oleh teori Galen yang dipercaya selama lebih dari seribu tahun, Ibn al-Nafis tampil berani. Ia menentang doktrin bahwa darah mengalir langsung dari jantung kanan ke jantung kiri melalui celah di septum, seperti yang dipercaya sebelumnya.
Dalam karya monumentalnya, Syarh Tasyrih al-Qanun, komentar terhadap Al-Qanun fi al-Tibb karya Ibn Sina, ia mengemukakan teori peredaran paru (pulmonary circulation), bahwa darah dipompa dari jantung kanan ke paru-paru untuk mendapat udara, lalu kembali ke jantung kiri. Sebuah temuan ilmiah yang baru "ditemukan ulang" oleh ilmuwan Barat tiga abad kemudian.
Dengan hati-hati dan kecermatan luar biasa, ia menulis dengan penuh tanggung jawab ilmiah. Bagi Ibn al-Nafis, ilmu bukan sekadar warisan, tetapi ladang yang harus terus digarap dan diperiksa. Ia membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam bukan hanya meneruskan, tapi juga mengoreksi dan memperbaharui.
Di luar dunia kedokteran, Ibn al-Nafis juga menulis dalam bidang teologi, filsafat, dan bahkan fiksi ilmiah. Salah satu karyanya, Al-Risalah al-Kamiliyah fi as-Sirah an-Nabawiyah, adalah novel filosofis yang menjadi cikal bakal fiksi ilmiah dunia Islam, memperlihatkan kedalaman pemikiran spiritual dan rasionalnya.
Ia hidup di masa kekacauan politik dan invasi Mongol, namun tetap teguh mengabdi pada ilmu. Di Kairo, ia menjadi kepala dokter di Rumah Sakit Al-Mansuri dan guru bagi para calon dokter dari seluruh negeri Muslim. Dalam sunyi ruang praktik dan perpustakaan, ia menulis bukan untuk pujian, melainkan untuk menghormati akal sebagai anugerah Tuhan.
Ibn al-Nafis tidak pernah mencari popularitas. Namanya bahkan nyaris dilupakan dalam sejarah dunia, hingga ditemukan kembali pada abad ke-20 oleh peneliti yang menggali manuskrip-manuskrip Arab. Namun ilmu yang ia titipkan telah diam-diam menyelamatkan jutaan jiwa, karena ia telah mengerti cara kerja jantung jauh sebelum dunia menyadarinya.
Dalam dunia pendidikan hari ini, Ibn al-Nafis adalah lambang dari keberanian ilmiah, kerendahan hati, dan pencarian kebenaran yang tak kenal takut. Ia membuktikan bahwa menulis, meneliti, dan bertanya bukanlah tindakan melawan tradisi, tapi justru bentuk ibadah terhadap kebenaran.
Ibn al-Nafis mengajarkan bahwa dalam diri manusia ada dua denyut, yaitu satu di jantung, satu di akal. Dan keduanya harus bergerak bersama, menyatu dalam irama ilmu dan iman. Sebab sejatinya, mengenal ciptaan Tuhan adalah jalan terpendek untuk mengenal-Nya.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.