Di tengah jantung Yogyakarta yang hangat dan bersahaja, alunan kalamullah menggema, bukan dari pengeras suara, tetapi dari hati yang hafal dan mencintainya. Sebuah momen suci tercipta, "Yogyakarta Menghafal", lebih dari sekadar acara, ia adalah gerakan jiwa yang memeluk langit dengan lisan yang berdzikir. Dalam semesta yang kadang bising oleh keluh kesah, hadir sosok-sosok yang menjadi pelita. Kamil, sang Hafiz Qur’an dari RCTI 2017, dijuluki "Google Al-Qur’an", bukan karena hafalannya semata, tetapi karena jiwanya yang menyatu dengan setiap ayat.
Waktu seolah kembali berhenti, mengingat saat Kamil kecil berdiri tenang, suaranya lirih tapi jelas, menjawab setiap potongan ayat seolah Al-Qur'an hidup dalam nadinya. Ia bukan hanya menghafal, ia menghayati, dan dari sanubarinya memancar cinta yang tak berbatas kepada Kalam Allah. Kini, tongkat estafet itu terus berpindah. Hadirlah Hakeema, Hafizh Qur’an RCTI 2024. Seorang putri muda dengan mata yang memancarkan cahaya ilmu dan adab. Suaranya seperti embun pagi, menyejukkan dan menyentuh, tiap lantunan membasuh luka batin yang lama terlupakan.
Di antara keduanya, hadir sosok bunda, Bunda Diana Setiyawati, Ph.D., Psikolog. Bukan sekadar pendidik, tapi ibu dari masa depan. Pendiri SMA Masa Depan dan Ketua Public Mental Health UGM, beliau datang bukan hanya membawa ilmu, tetapi cinta yang membimbing dengan kasih. Beliau memahami bahwa menghafal Qur'an bukan sekadar kerja kognitif. Ia adalah perjalanan jiwa, latihan kesabaran, dan penyembuhan luka batin. Di tangannya, pendidikan tak sekadar angka, tapi penyemaian jiwa untuk generasi yang tumbuh dengan hati yang sehat.
"Masa Depan Fest Celebrating The Future" pun menjadi panggung suci, tempat di mana Qur’an bertemu dengan psikologi, tempat ilmu langit bersanding dengan sains bumi. Sebuah simfoni yang menyatukan keimanan dan kecerdasan emosional dalam pelukan ukhuwah. Anak-anak duduk dan mata mereka berbinar. Di hadapan mereka bukan bintang televisi atau tokoh seminar, tapi teladan hidup yang membawa makna. Bukan hanya mengajarkan ayat, tetapi mengajak menanamkannya ke dalam perilaku, menjadi akhlak, menjadi cahaya.
Yogyakarta hari ini tak hanya menjadi saksi lantunan ayat, tapi juga saksi lahirnya harapan. Harapan bahwa masa depan tak akan gelap selama Al-Qur’an menjadi lentera. Bahwa generasi baru bisa tumbuh bukan hanya cerdas, tapi juga lembut hati dan kukuh iman. Kamil dan Hakeema menunjukkan bahwa keajaiban bukan monopoli para nabi. Ia tumbuh di rumah yang penuh cinta, di sekolah yang memahami ruh pendidikan, dan dalam dekapan masyarakat yang menghargai nilai-nilai Qur'ani.
Dan Bunda Diana, dengan kelembutan seorang ibu dan keteguhan seorang ilmuwan, menyampaikan bahwa kesehatan mental adalah pintu agar ayat-ayat itu bisa meresap, menetap, dan hidup dalam jiwa. Bahwa anak yang damai jiwanya akan mudah mencintai Rabb-nya. Acara itu bukan hanya festival, tapi majelis cinta. Bukan hanya pelatihan hafalan, tapi terapi spiritual. Bukan hanya menyemai kecerdasan, tapi juga membasuh luka-luka sunyi yang terpendam dalam ruang jiwa generasi yang kerap tak dipahami.
Syaamil Qur’an, sebagai pelopor gerakan ini, tak hanya mencetak mushaf, tetapi membangkitkan kesadaran. Mereka membalut aksara wahyu dengan semangat pelayanan, menjadikan Qur'an bukan hanya dibaca, tetapi dipeluk, dirasakan, dan dihidupkan. Dan para orang tua yang hadir, matanya berkaca. Mereka tak lagi hanya berharap anaknya sukses dunia, tapi mulai memahami bahwa sejatinya anak yang menghafal Qur’an adalah anak yang sedang menulis takdir surganya sendiri, dan orang tuanya, ikut diundang ke dalamnya.
"Yogyakarta Menghafal" adalah panggilan. Bagi kita semua. Untuk kembali pada fitrah, untuk menyatu dalam dzikir, untuk menyadari bahwa masa depan bukan sekadar mimpi, ia sedang kita bentuk hari ini, dengan ayat-ayat yang tumbuh di hati anak-anak kita.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd