Bukan karena merasa lebih tahu, bukan pula karena merasa lebih tinggi dari siapa pun. Sebuah tulisan yang ditorehkan dalam sunyi, kadang lahir dari hati yang sedang berperang dengan diri sendiri. Barangkali terlihat seperti petuah, seperti nasihat atau semacamnya, tapi sesungguhnya itu adalah suara lirih dari jiwa yang tengah mencari arah pulang.
Menulis kebaikan bukan semata-mata ingin dilihat baik. Kadang, itu adalah bentuk pengingat bagi diri yang rapuh, agar tetap teguh berjalan di antara godaan yang mengikis nurani. Ada yang menulis bukan karena telah selesai dengan luka, melainkan sedang berusaha mengobatinya, perlahan, satu kata demi satu kata.
Tidak semua yang menulis kebaikan itu suci dari cela. Justru karena ia tahu betapa mudahnya tergelincir, ia menggenggam pena dan mengukir makna. Setiap kalimat adalah ikhtiar, bukan penghakiman. Setiap kutipan adalah doa, bukan vonis untuk yang berbeda.
Jika kau menemukan kebaikan dalam tulisan seseorang, ambillah sebagai pelita. Bukan karena penulisnya sempurna, tetapi karena kebaikan selalu layak dijemput, siapa pun yang membawanya. Seperti embun pagi yang tak memilih di atas daun mana ia akan singgah, kebaikan pun tak terikat pada siapa yang menyampaikannya.
Namun jika hatimu belum siap, tidak mengapa. Tak ada kewajiban untuk setuju, apalagi sepakat. Dunia ini luas, pemahaman kita pun terbatas. Biarlah setiap hati punya waktunya masing-masing untuk mengerti, menerima, dan merenungi. Tak perlu memaksakan rasa, sebab kebaikan tak pernah mendesak.
Kadang, seseorang menulis bukan untuk dibaca oleh orang banyak, melainkan untuk dirinya sendiri, agar tidak lupa akan janji-janji kepada Tuhan dan nuraninya. Lalu ia membiarkannya terbuka, karena siapa tahu, ada yang tengah melalui jalan yang sama dan butuh cahaya meski hanya seberkas.
Jangan cepat menilai hati di balik tulisan. Bisa jadi, yang terlihat bijak di layar adalah yang paling lemah saat berdoa di sepertiga malam. Ia menulis untuk bertahan, bukan untuk menggurui. Ia berbagi agar tak merasa sendiri dalam kerapuhan yang kadang membelenggu diam-diam.
Maka jika kau merasa tersentuh, bersyukurlah. Itu artinya hatimu masih hidup dan bisa merasa. Tapi jika kau merasa terganggu, jangan terburu menolak. Mungkin bukan isi tulisannya yang menyakitimu, melainkan cermin kebenaran yang menampakkan sesuatu yang belum kau sanggupi.
Biarkan tulisan menjadi seperti angin tak terlihat, tapi terasa. Tak memaksa, hanya singgah bagi mereka yang bersedia membuka jendela. Dan jika kau memilih untuk menutup jendela itu, tidak apa-apa. Angin tak akan marah, dan tulisan pun tak akan menuntut.
Pada akhirnya, setiap tulisan hanyalah isyarat kecil di tengah derasnya hidup. Tak semua harus kau simpan, tak semua pula harus kau abaikan. Pilihlah dengan hatimu. Ambillah kebaikan jika kau rasa itu meneduhkan, dan biarkan sisanya berlalu, tanpa kebencian, tanpa prasangka. Karena kita semua masih belajar, dari kata, dari luka, dan dari sesama manusia.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.