Kata hijrah sering diasosiasikan dengan perubahan gaya hidup: dari yang “gelap” ke “terang”, dari lalai ke sadar. Tapi jika kita tengok dalam Sirah Nabawiyah, hijrah bukan sekadar pindah tempat. Hijrah adalah simbol mentalitas perubahan, dan lebih dalam lagi, bentuk perlawanan terhadap lingkungan yang rusak, menindas, dan melemahkan nilai-nilai kebenaran.
Kata hijrah sering diasosiasikan dengan perubahan gaya hidup: dari yang “gelap” ke “terang”, dari lalai ke sadar. Tapi jika kita tengok dalam Sirah Nabawiyah, hijrah bukan sekadar pindah tempat. Hijrah adalah simbol mentalitas perubahan, dan lebih dalam lagi, bentuk perlawanan terhadap lingkungan yang rusak, menindas, dan melemahkan nilai-nilai kebenaran.
Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak meninggalkan Mekkah karena lemah. Mereka hijrah karena ingin menyelamatkan iman mereka dari tekanan dan fitnah. Mereka memilih hijrah karena tahu: bertahan di lingkungan yang terus-menerus meracuni jiwa bisa mematikan semangat dan visi besar dalam diri. Ini relevan banget untuk kita hari ini.
Toxic environment itu nyata, bisa berupa pertemanan yang suka meremehkan, budaya kerja yang melelahkan tanpa arah, atau sosial media yang memicu perbandingan dan kecemasan. Hijrah adalah keberanian untuk bilang, “Aku gak mau hidup dalam sistem yang bikin aku rusak dari dalam.”
Perubahan sejati dimulai dari kesadaran bahwa ada yang salah. Rasulullah tidak tinggal diam melihat penyembahan berhala, eksploitasi, dan ketidakadilan sosial. Beliau memilih bergerak, bukan menyesuaikan diri. Hijrah adalah bentuk kritik hidup terhadap lingkungan yang sudah tidak sehat, dan aksi nyata untuk membangun yang lebih baik.
Tapi hijrah juga butuh strategi. Rasulullah tidak asal pergi. Beliau rencanakan rute, siapkan logistik, libatkan orang terpercaya. Ini pelajaran penting: melawan toxic bukan berarti marah-marah atau asal keluar dari situasi. Perlu kecerdasan, kesabaran, dan langkah cermat agar perubahan benar-benar berdampak.
Perlawanan Rasulullah terhadap sistem rusak bukan frontal terus-terusan, tapi elegan. Beliau bangun Madinah sebagai alternatif, kota yang penuh nilai, kolaborasi, dan visi masa depan. Ini mengajarkan kita bahwa salah satu cara terbaik melawan lingkungan toxic adalah dengan menciptakan versi lingkungan yang lebih sehat dan inspiratif.
Hijrah juga berarti memilih teman seperjalanan. Di Mekkah, mungkin kita dikelilingi orang yang menjatuhkan. Tapi di Madinah, Rasulullah dikelilingi oleh para sahabat yang mendukung misi. Kita butuh lingkungan baru yang menyemangati, bukan menghakimi; yang mendorong naik, bukan menyeret turun.
Mentalitas hijrah adalah mentalitas tumbuh. Ia tidak lari dari masalah, tapi keluar dari ruang yang menghambat pertumbuhan. Ia bukan reaktif, tapi reflektif. Ia tidak menolak dunia, tapi ingin membentuk dunia yang lebih baik, dimulai dari perubahan dalam diri.
Setiap anak muda yang sadar bahwa lingkungannya mulai merusak nilai, semangat, dan akhlaknya, sedang dipanggil untuk berhijrah. Bukan selalu fisik, tapi bisa dalam bentuk memilih circle baru, mengatur ulang aktivitas harian, mengurangi konsumsi media, atau menghidupkan lagi tujuan hidup.
Jadi, hijrah bukan tren. Bukan pula pelarian. Hijrah adalah mentalitas sadar dan tegas: bahwa aku layak tumbuh di tanah yang subur, bukan di ladang racun. Seperti Rasulullah dan para sahabat, kita pun bisa membangun Madinah kita sendiri, tempat di mana jiwa kembali bernapas, dan hidup kembali punya arah.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.