Di antara gemuruh dunia yang tak pernah henti menuntut lebih, kita sering mendongak menatap ke langit harapan yang dihuni oleh orang-orang yang kita anggap “lebih”: lebih kaya, lebih rupawan, lebih bahagia. Dan tanpa sadar, kita mulai berkata, “Enak ya jadi kamu.” Sebuah kalimat yang ringan di lidah, namun perlahan menggerus rasa syukur di dada.
Rasulullah yang mulia telah bersabda, “Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu…” Sebuah nasihat lembut yang sarat makna, bukan untuk menjatuhkan semangat, tapi untuk menenangkan hati yang letih berlari mengejar bayang-bayang kesempurnaan yang fana.
Ketika kita terus menatap ke atas, kita bisa kehilangan pijakan. Kita lupa pada nikmat yang telah begitu setia membersamai, pada doa-doa yang telah lama dijawab, hanya karena yang kita lihat adalah doa-doa orang lain yang tampak lebih indah dalam balutan pencapaian.
Kita lupa, bahwa setiap cerita memiliki bab yang tak terlihat. Kita lihat senyum mereka, tapi kita tak tahu air mata yang jatuh sebelum senyum itu lahir. Kita lihat rumah besar, mobil mewah, pasangan yang serasi tapi tak terlihat lelah dan luka yang mereka simpan rapat di balik tirai hidupnya.
Lalu hati mulai bertanya, “Kenapa bukan aku?” Padahal Allah telah memberi, bahkan mungkin lebih dari cukup. Namun, karena mata selalu menatap ke atas, yang ada hanyalah kekurangan. Padahal jika sesekali kita menunduk, kita akan melihat ada begitu banyak alasan untuk bersyukur.
Lihatlah ia yang tak memiliki rumah, tapi masih mampu tertawa. Lihatlah ia yang hidup dengan satu tangan, tapi tetap berkarya. Lihatlah anak kecil yang hanya punya satu buku lusuh, tapi membaca dengan penuh cinta. Di sana, ada pelajaran: kebahagiaan tidak selalu datang dari kepemilikan, melainkan dari penerimaan.
Hidup bukanlah perlombaan untuk menjadi yang paling bersinar. Ia adalah perjalanan sunyi untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, tanpa membandingkan langkah kita dengan langkah orang lain. Karena garis finish-nya bukan dunia, tapi ridha Allah yang tak terlihat namun terasa.
Saat kita berhenti berkata, “Enak ya jadi kamu,” dan mulai berkata, “Alhamdulillah ya Allah atas apa yang kumiliki,” di sanalah jiwa kita mulai pulih. Luka-luka karena membandingkan akan mengering, dan hati yang dulu sempit mulai luas oleh syukur yang terus tumbuh.
Karena sungguh, yang merasa cukup adalah yang paling kaya. Dan yang paling bersyukur adalah yang paling damai. Tak perlu banyak untuk bahagia, cukup satu hati yang tahu cara berterima kasih atas tiap embusan napas, tiap rezeki, dan tiap detik kehidupan yang masih Allah pinjamkan.
Maka tundukkanlah pandanganmu, bukan untuk menyerah, tapi untuk belajar mencintai hidup yang kau miliki. Di sana, dalam kesederhanaan yang mungkin tampak biasa, tersimpan kemuliaan yang Allah titipkan, agar engkau tidak meremehkan nikmat-Nya yang tak pernah usai.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.