Pada masa ketika Eropa masih tertidur dalam abad kegelapan, di sudut dunia Islam lahir seorang pemikir besar yang diam-diam mengubah jalannya sejarah manusia. Namanya adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi. Ia tidak menulis puisi, tidak pula memimpin pasukan. Tapi goresan pena dan kejernihan pikirannya telah menjadi senjata paling kuat yang pernah dimiliki umat manusia, yaitu ilmu pengetahuan.
Al-Khawarizmi adalah tokoh yang memperkenalkan sistem bilangan desimal secara sistematis dan angka nol sebagai posisi penentu. Nol, sebuah konsep yang sempat ditakuti dan disalahpahami di banyak peradaban, justru di tangan Khawarizmi menjadi pondasi dari seluruh operasi hitung modern. Tanpa angka nol, kita tak akan pernah mengenal kalkulator, komputer, algoritma, bahkan internet.
Istilah "algoritma" yang hari ini menjadi dasar semua mesin digital berasal dari latinisasi yang bernama Algoritmi. Tanpa algoritma, tak ada mesin pencari, tak ada pemrograman, tak ada kecerdasan buatan. Dunia digital yang kita kenal hari ini berdiri tegak di atas rumus-rumus sederhana yang disusun Khawarizmi lebih dari seribu tahun lalu.
Namun Khawarizmi bukan hanya ahli matematika. Ia adalah seorang polimatik, menguasai astronomi, geografi, dan ilmu ukur. Ia mengoreksi peta dunia saat itu, menulis risalah astronomi, bahkan merancang tabel trigonometri. Bagi dia, ilmu bukan sekadar alat praktis, melainkan bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta. Setiap rumus adalah dzikir dalam bentuk logika. Setiap angka adalah ayat tak bersuara yang menunjuk pada ketelitian Tuhan.
Karya terkenalnya, Kitab al-Jabr wal-Muqabala, menjadi rujukan utama matematika di Eropa selama berabad-abad. Dari judul bukunya pula lahir kata "aljabar". Ia tak hanya mengajarkan cara menyelesaikan persamaan, tapi juga mengenalkan cara berpikir sistematis dan analitis yang kelak membentuk dasar metode ilmiah modern.
Bayangkan, seorang Muslim dari abad ke-9, menulis risalah matematika dalam bahasa Arab, dan karyanya dibaca di universitas-universitas Eropa ratusan tahun kemudian. Inilah bukti bahwa ilmu tak mengenal batas agama, ras, atau benua. Ia mengalir dari siapa saja yang ikhlas mencarinya, dan memberi manfaat pada siapa saja yang membutuhkannya.
Tanpa Al-Khawarizmi, revolusi digital mungkin tak pernah terjadi. Tanpa dia, manusia mungkin masih menghitung dengan rumus yang kabur dan alat yang primitif. Betapa luar biasanya pengaruh seorang ilmuwan yang bahkan tak pernah membayangkan dunia dengan layar sentuh dan jaringan global, namun benih yang ia tanam tumbuh menjadi hutan teknologi abad 21.
Lebih dari sekadar cendekiawan, Al-Khawarizmi adalah simbol dari masa di mana Islam bukan hanya menjadi agama spiritual, tapi juga pendorong kemajuan intelektual. Ia mewakili zaman ketika belajar adalah ibadah, dan menulis adalah bentuk jihad. Ketika masjid-masjid menjadi perpustakaan, dan ulama adalah saintis.
Kita hidup di era canggih, namun ironisnya sering lupa pada akar dari kecanggihan itu. Kita menikmati hasilnya, tapi alpa pada sejarahnya. Maka, mengenang Al-Khawarizmi bukan sekadar nostalgia, melainkan pengingat bahwa umat Islam pernah memimpin dunia dengan ilmu, bukan hanya dengan suara.
Dan mungkin, saat dunia hari ini gelisah mencari arah, mengenang tokoh seperti Al-Khawarizmi adalah langkah pertama untuk kembali ke akar bahwa peradaban yang hebat dibangun oleh ilmu yang direndahkan ke bumi, dan hati yang ditinggikan ke langit.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.